Image Sweet

Image Sweet
Brastagi Natural

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Rabu, 17 Februari 2010

Suatu Tinjauan Tentang Peranan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan dan Pengertian Judul
Adapun judul skripsi ini “Suatu Tinjauan Tentang Peranan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Hal yang menjadi sorotan atau ulasan dalam tulisan ini terutama berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai suatu institusi (lembaga) Non Departemen turut serta dalam pemberantasan Korupsi.
Pengertian “Peranan” adalah ikut serta ambil bagian dalam suatu kegiatan dan bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut . Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah suatu lembaga Non Departemen yang didasarkan kepada Keppres Nomor : 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang telah beberapa kali mendapat perubahan dan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2005 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Non Departemen.
Salah satu diantara tugas pokok dan fungsi BPKP adalah ikut serta dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dipertegas kembali dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor). Tim Tastipikor terdiri atas unsur Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Adapun tujuannya adalah untuk lebih mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

B. Alasan Pemilihan Judul
Pada dekade terakhir masyarakat umum merasakan bahwa praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) di Indonesia telah sedemikian tinggi dan sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari beberapa tulisan yang pernah ada pada beberapa media cetak, seperti “media Indonesia” pernah menuangkan berita hasil penulisan survey yang dilakukan Badan Konsultan Resiko Politik dan Ekonomi (PERC) Hongkong, dengan judul “ Indonesia Terkorup Kedua di Asia, yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat kedua terkorup di Asia setelah Vietnam (Media indonesia, 19 maret 2003). Prof Sumitro Djojohadikusumo pernah menenggarai bahwa dana pembangunan selama Pelita V (1989-1995) mengalami kebocoran sekitar 30 % dari total investasi (Tempo, Menghitung Kebocoran, 22 Januari 1994). Beberapa pernyataan diatas memberikan sinyal bahwa tingkat korupsi di Indonesia telah sampai pada tingkat kritis yang sangat mengkhawatirkan.
Terjadinya krisis multidimensi di Indonesia telah mendorong semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap terwujudnya pemerintahan yang baik (Good Governance) melalui reformasi dari segala bidang termasuk pemberantasan terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang secara formal telah dirumuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR atau tuntutan masyarakat tersebut khususnya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan antara lain :
• Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
• Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971).
• Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk menunjang pelaksanaan dari Undang-undang tersebut Pemerintah juga telah menata ulang Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan salah satu diantaranya dengan melakukan reorganisasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai salah Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya diharapkan mampu berperan aktif dalam upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme .
Dalam struktur organisasi BPKP yang baru (Surat Keputusan Kepala BPKP No. KEP-06.00.00-080/K/2001) terdapat salah satu Deputi Kepala BPKP yang mendapat tugas secara khusus menangani korupsi, Kolusi dan nepotisme yaitu Deputi Bidang Investigasi. Dalam struktur yang lama Deputi yang menangani tugas ini adalah Deputi Bidang Pengawasan Khusus. Begitu pula ditingkat Perwakilan BPKP di Daerah, telah dibentuk bidang Investigasi yang dalam organisasi lama hanya setingkat eselon IV (Seksi Pemeriksaan Khusus pada masing-masing Bidang Pengawasan).
Perubahan nama ini diharapkan mampu memberikan harapan agar BPKP memiliki peran yang lebih besar lagi untuk ikut serta dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun berdasarkan pengalaman penulis sebagai salah satu pegawai (PNS) pada BPKP, ternyata untuk meningkatkan peran yang lebih besar tersebut bukan hal mudah, karena tidak jarang terjadi penolakan oleh beberapa instansi dalam kegiatan audit khusus yang berindikasi tindak pidana korupsi dengan berbagai alasan yang diantaranya masalah kewenangan BPKP yang selalu diperdebatkan .
Untuk mengatasi kendala ini sebenarnya telah dilakukan upaya kerjasama dengan Kejaksaan Tinggi di daerah sebagai tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama antara Kepala BPKP Pusat dengan Kejaksaan Agung. Disamping itu di daerah juga telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan pihak Kepolisian Daerah (POLDA) sebagai tindak lanjut dari kejasama Kepala BPKP Pusat dengan KAPOLRI, dan bersinergi dengan Badan Pengawas Daerah dalam melaksanakan audit khusus berindikasi tindak pidana korupsi.



C. Permasalahan
Adapun permasalahan yang dihadapi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam peranan ikut serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adanya terutama menyangkut dasar hukum dan kewenangan yang dimiliki sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan lainnya yang mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPKP.
1. Bagaimanakah peranan BPKP dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
2. Kendala apa yang dihadapi BPKP dalam usaha Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

D. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dalam tulisan ini antara lain untuk memberikan gambaran tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai lembaga Non Departemen yang dibentuk untuk pertama kalinya dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei Tahun 1983. Hal-hal yang berkaitan dengan apa yang menjadi Tugas Pokok dan Fungsi BPKP, yang telah mengalami beberapa kali perubahan baik dalam struktur organisasi msupun tugas pokok dan fungsinya. Disamping itu, juga memberikan gambaran tentang bagaimana cara keikutsertaan BPKP dalam tugas pokok dan fungsinya ikut serta dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

E. Metode Pengumpulan Data
Dalam proses pencapaian tujuan sebuah karya tulis yang sempurna baik dari segi bobot ilmiah maupun isinya yang terarah dan dapat dipertanggung jawabkan diperlukan data yang sesuai dan akurat. agar data yang baik dan akurat dapat diperoleh dengan sempurna diperlukan metode pengumpulan data yang sesuai dengan materi skripsi, maka untuk memperoleh data dalam menyusun tulisan ini penulis menggunakan penelitian hukum.
Penelitian hukum ada yang bersipat penelitian doktrinal dan non doktrinal, penelitian doktrinal disebut juga penelitian hukum normatif yang merupakan penelitian kepustakaan yaitu peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder. sedang penelitian non doktrinal (sosial legal research) banyak tertuju kepermasalahan kepaedahan hukum dan kaitannya dengan persoalan fungsi dari tujuan hukum dalam suatu supra sistem sosial .
Bahan untuk penulisan skripsi ini didasarkan kepada tulisan atau kepustakaan baik yang diterbitkan oleh penulis yang berkecimpung dibidang pemberantasan tindak pidana korupsi maupun penulis akademi (Library Research) dan juga didasarkan kepada pengalaman penulis selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak tahun 1984 sampai dengan saat ini. Dalam pembahasan sksipsi ini penulis membatasi pada peranan BPKP dalam pemberantasan tindak pidana korupsi saja, tidak termasuk mengenai kolusi dan nepotisme.

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, kemudian dalam tiap Bab dibagi lagi kedalam Sub Bab, maksudnya adalah untuk mempermudah penguraiannya dan pembahasannya dapat dilakukan secara sistematis. Adapun sistematika penulisan dari skripsi ini diuraikan sebagai berikut :
a. Kata pengantar yaitu sebagai pembukaan yang menunjukkan arah yang tepat bagian dari isi skripsi dan sebagai suatu bagian yang memperkenalkan keseluruhan skripsi ini, meskipun sepintas lalu, kata pengantar juga merupakan suatu bagian yang menerangkan motivasi dan tujuan penulis dalam menyusun skripsi ini, dan terakhir sebagai tempat mengucapkan terima kasih penulis kepada semua piha hingga tersusunnya skripsi ini.
b. Daftar isi yaitu untuk memudahkan pembaca dan penulis mengetahui klassifikasi keseluruhan isi skripsi, selain itu juga memberikan gambaran yang pasti urutan cara berfikir penulis dalam memecahkan persoalan dan akan lebih mudah bagi pembaca dan penulis mengetahui penempatan pengantar, pendahuluan, bagian bab, lampiran dan daftar bacaan.
c. Bab I merupapan Bab Pendahuluan dibahas tentang Penegasan dan Pengertian, Alasan Pemilihan Judul, Permasalahan, Hipotesa, Tujuan Pembahasan, Metode Pengumpulan Data dan Sistematika Penulisan.
d. Bab II mengenai Tinjauan Umum Tentang BPKP dan Tindak Pidana Korupsi diuraikan tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Landasan Hukum, Tugas Pokok dan Fungsi BPKP, Struktur Organisasi Kelembagaan, Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana Korupsi serta Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
c. Bab III mengenai Peranan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diuraikan tentang Ruang Lingkup Penugasan Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi, Teknik Audit Penugasan Investigatif, Wewenang dan Tanggung Jawab, Hambatan dan Kendala Yang Dihadapi
d. Bab IV mengenai Kasus Tindak Pidana Korupsi dan Analisa Penulis Terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi
e. Bab V merupakan Bab terakhir, dimana dalam Bab ini diuraikan beberapa kesimpulan dari keseluruhan pembahasan materi skripsi ini, selanjutnya penulis akan menguraikan beberapa saran yang dianggap berguna sehubungan dengan penulisan skripsi ini.



BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BPKP
DAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Serta Landasan Hukumnya.
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau di singkat dengan BPKP adalah suatu Lembaga Non Departemen yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983.
BPKP merupakan bagian dari eksekutif yang membantu Presiden Republik Indonesia dalam bidang pengawasan yang berkaitan dengan keuangan negara. Pimpinan tertinggi BPKP disebut dengan Kepala BPKP yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia melalui Wakil Presiden Republik Indonesia.

2. Landasan hukum
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. Landasan hukum ini telah mengalami beberapa kali perubahan antara lain :
(1) Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
(2) Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(3) Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001.
Disamping landasan hukum keberadaan BPKP sebagaimana disebutkan diatas, maka landasan hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dimana BPKP sebagai Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) ikut serta berperan dalam pemberantasannya didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan antara lain :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indoensia.
2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negera Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).
3. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Lembaran Negera Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 75, tambahan Lembaran Negara Nomor 3851).
4. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negera Republik Indonesia tahun 19 Nomor 140, tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang omor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negera Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 134, tambahan Lembaran Negara Nomor 4150).
5. Petunjuk Pelaksanaan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala BPKP Nomor : Juklak – 001/JA/2/1989 dan Nomor : Kep–145/L1989 tanggal 25 Februari 1989 tentang Upaya Pemantapan Kerja Sama Kejaksaan dan BPKP Dalam Penanganan Kasus yang Berindikasi Korupsi.
6. Keputusan Bersama Kepala BPKP dengan Jaksa Agung RI No. Kep 017/JA/2/1994 dan No. Kep 42/K/1994, tanggal 8 Februari 1994 tentang petunjuk pelaksanaan kerjasama kejaksaan dengan BPKP dalam menangani kasus perdata yang menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara.
7. Kerjasama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepala BPKP Nomor Pol. Kep/12/IV/2002 dan Nomor Kep -04.00-2/9/K/2002 tanggal 29 April 2002 tentang kerjasama dalam penanganan kasus yang berindikasi Tindak Pidana korupsi .
8. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9. Keputusan Presiden RI No.11 tahun 2005 tentang Tim Koordinasi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP-06.00-080/K/2001 tanggal 20 Februari Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPKP.

B. Tugas Pokok dan Fungsi BPKP
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) salah satu dari Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) disamping Badan Pengawas Daerah (Bawasda) dan Inspektorat Jenderal Departemen (Irjen). Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya maka BPKP mempunyai visi dan misi.
Visi BPKP
“Menjadi katalisator pembaharuan manajemen Pemerintahan melalui pengawasan yang profesional”
Misi BPKP
1) Mendorong dan memberikan konstribusi bagi terselenggaranya manajemen pemerintah yang baik.
2) Mendorong terwujudnya akuntabilitas publik oleh pemerintah serta terciptanya aparatur yang bersih.
3) Meningkatkan kualitas hasil pengawasan dalam rangka pengambilan keputusan dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.
4) Menumbuh kembangkan sinergi pengawasan di lingkungan pemerintah.
Menindak lanjuti Surat Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, maka kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan Surat Nomor : KEP-06.00.00-090/K/2001, tanggal 20 Februari 2001 tentang organisasi dan tata kerja BPKP, menetapkan struktur organisasi BPKP serta tugas dan fungsinya. Dalam struktur organisasi tersebut dibentuk Deputi Bidang Investigasi yang antara lain tugas dan fungsinya adalah menjaga agar tidak terjadi kebocoran keuangan negara, dengan cara melalui pemberantasan korupsi dan mengatasi berbagai hambatan kelancaran pembangunan secara konsekuen dan sistematis.
Secara konsepsi, dalam menghadapi problema korupsi, kolusi dan nepotisme serta hambatan kelancaran pembangunan maka Deputi Bidang Investasi BPKP memecahkannya melalui pendekatan Tiga Pilar strategi, yaitu preventif, investigatif dan edukatif .
1. Strategi Preventif
Strategi ini mengupayakan untuk menghilangkan penyebab terjadinya Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) serta Hambatan Kelancaran Pembangunan (HKP) sehingga menimbulkan daya cegah dan daya tangkal terhadap KKN dan HKP.
2. Strategi Investigasi
Strategi ini mengupayakan agar segera dapat mendeteksi, mengungkapkan, dan menindak lanjuti KKN dan HKP yang telah terjadi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Strategi Edukatif
Strategi ini mendorong masyarakat luas untuk ikut serta berperan dalam mencegah, mengurangi, mendeteksi, mengungkapkan dan menindak lanjuti masalah KKN dan HKP.
Adapun tugas dan fungsi Deputi Bidang Investigasi BPKP sesuai ketentuan pasal 196 Keputusan Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor 080 Tahun 2001, Deputi Bidang Investigasi BPKP mempunyai tugas “Melaksanakan Perumusan di Bidang Investigasi”.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Investasi menyelenggarakan fungsi :
(1) Perumusan kebijakan teknis investigasi dan penyusunan rencana investigasi.
(2) Penyusunan pedoman teknis dan pemberian bimbingan teknis investigasi.
(3) Koordinasi dan pelaksanaan investigasi terhadap kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan terhadap hambatan kelancaran pembangunan pada instansi pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
(4) Pemberian bantuan investigasi terhadap kasus penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan terhadap hambatan kelancaran pembangunan pada instansi pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah maupun badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah atas permintaan pihak yang berwenang, instansi atau badan usaha yang bersangkutan, instansi penyidik dan/atau instansi/lembaga yang berwenang lainnya.
(5) Pemantauan tindak lanjut investigasi.
(6) Evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan investigasi.
(7) Analisa, evaluasi, dan penyusunan laporan hasil investigasi.
Merujuk pada masalah pemberantasan korupsi, maka Deputi Bidang Investigasi BPKP mempunyai strategi sebagai berikut :
(1). Strategi preventif yaitu upaya yang berkaitan dengan terciptanya kondisi yang akomodatif terhadap pencegahan, memudahkan deteksi, dan pengungkapan terjadinya KKN maka kegiatan yang dilakanakan adalah meliputi pengembangan rancangan pengendalian korupsi (Fraud Control Plan) untuk mencegah korupsi dan kajian penyempurnaan peraturan/kebijakan pemerintah yang rentan KKN.
(2). Strategi investigatif yaitu kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan jumlah, cakupan (ruang lingkup), dan kualitas pendeteksian, pengungkapan serta penindakan kejadian yang berindikasi KKN, meliputi :
a. Pengembangan perangkat kerjasama dengan instansi penyidik (Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara, KPK), PPATK, dan institusi terkait lainnya.
b. Pengembangan sarana dan prasarana dalam penanganan pengaduan masyarakat yang lebih efektif.
c. Pengembangan keahlian dan pengetahuan auditor (sumber daya manusia).
d. Audit investigatif.
e. Perhitungan kerugian keuangan Negara.
f. Penugasan perbantuan.
(3). Strategi Edukatif yaitu kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kepedulian publik (masyarakat) terhadap problematika KKN. Adapun kegiatan yang dilaksanakan antara lain berupa sosialisasi dan penyuluhan anti korupsi dalam rangka memberikan pemahaman dan cara memerangi KKN kepada kelompok masyarakat tertentu secara sistematis.
Pada masa yang akan datang, instensitas kegiatan dengan pilar preventif dan edukatif cenderung semakin besar agar konsekwensi KKN dapat dicegah dan ditekan hingga seminimal mungkin, Intensitas kegiatan dengan pilar investigatife cenderung semakin menurun sebagai konsekwensi logis keberhasilan kegiatan pilar preventif dan edukatif.

C. Struktur Organisasi Kelembagaan
Struktur organisasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor : KEP-06.00.00-080/K/2001, tanggal 20 Februari 2001 dengan memperhatikan Surat Keputusan Presiden RI Nomor : 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi dan kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen adalah sebagai berikut : BPKP dipimpin oleh seorang Kepala BPKP dibantu oleh Sekretariat Utama dan 6 (enam) Deputi, Inspektorat, Pusat Pendidikan Pelatihan Pengawasan, Pusat Pengembangan Pengawasan, Pusat Informasi Pengawasan, Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor, dan Kepala Perwakilan BPKP di daerah.
Uraian lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1. Sekretariat utama membawahi :
- Kepala Biro Perencanaan Pengawasan
- Kepala Biro Kepegawaian dan Organisasi
- Kepala Biro Keuangan
- Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
- Kepala Biro Umum
2. Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian membawahi :
- Kepala Direktorat Pengawasan Fiskal dan Investasi
- Kepala Direktorat Pengawasan Produksi dan Sumber Daya Alam
- Kepala Direktorat Pengawasan Pinjaman dan Bantuan Luar Negeri
- Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintahan Bidang Perekonomian lainnya.
3. Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Sosial dan Keamanan membawahi :
- Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah Bidang Pertanahan dan Keamanan.
- Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah Bidang Penyuluhan Hukum dan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara.
- Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah Bidang Kesejahteraan Rakyat.
- Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Pemerintah Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan lainnya.
4. Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Akuntabilitas membawahi:
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Pusat I.
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Pusat II.
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Daerah I.
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Daerah II.
5. Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah membawahi :
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah I.
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah II.
- Kepala Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah III.
6. Deputi Bidang Akuntan Negara membawahi :
- Kepala Direktorat Pengawasan usaha Agrobisnis, Jasa Konstruksi dan Perdagangan.
- Kepala Direktorat Pengawasan Badan Usaha Jasa Perhubungan, Parawisata, Kawasan Industri dan jasa lainnya.
- Kepala Direktorat Pengawasan Badan Usaha Jasa Keuangan dan Manufaktur.
- Kepala Direktorat Pengawasan Badan Usaha Perminyakan dan Gas Bumi.
- Kepala Direktorat Pengawasan Badan Usaha Milik Daerah.
7. Deputi Bidang Investigasi membawahi :
- Kepala Direktorat Investigasi Instansi Pemerintah
- Kepala Direktorat Investigasi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
- Kepala Direktorat Investigasi Hambatan Kelancaran Pembangunan.

D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-nama. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman.
Istilah korupsi berasal dari perkataan latin “Coruptio” atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan .
Korupsi banyak dikaiktan dengan ketidak jujuran seseorang di bidang keuangan. Istilah korupsi di beberapa negara seperti “gin moung” (Muanthai), yang berarti “makan bangsa”, “Tanwu” (Cina) yang berarti keserakahan bernoda, “oshoku” (Jepang) yang berarti “kerja kotor” . Arti harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya .
Perkembangan pengertian korupsi dapat dilihat dari beberapa aspek sudut pandang antara lain :
1. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar.
Teori ini mengatakan bahwa seorang pengabdi Negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi mengganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
2. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan.
Korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
3. Rumusan Korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum
Pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab menerima pemberian uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.
4. Rumusan korupsi dari pandang sosiologi.
Pengkajian makna korupsi secara sosiologi menurut uraian Syed Hussein Alatas dalam bukunya “The Sociology of Corruption” yang antara lain menyebutkan bahwa terjadi korupsi apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan sipemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang, hadiah lain yang dapat menggoda pejabat termasuk pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik .
Sedangkan korupsi menurut pengertian beberapa pasal Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengertian yang cukup komprehensif yaitu :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (pasal 2).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, 435 KUHP.
4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedududan tersebut.
5. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai Tindak Pidana Korupsi.
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi.
7. Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu bentuk korupsi, menurut rumusan pasal-pasal tersebut di atas adalah suap. Suap didefenisikan sebagai penawaran, pemberian, penerimaan, permohonan atas suatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan seorang pegawai atau pejabat dengan tujuan tertentu dalam tindakan kejahatan .

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Dalam prakteknya, ada beberapa bentuk korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Pemberian sesuatu, rekreasi dan hiburan
Pemberian suap dilakukan dengan beberapa cara antara lain melalui :
1. Makanan dan minuman
2. Pakaian dan perhiasan untuk suami isteri atau pasangannya
3. Hiburan malam, liburan/rekreasi.
4. Pemberian tiket ke suatu tempat tertentu
5. Pemberian fasilitas villa, rumah dan lain-lain.
6. Pemberian suap, baik berupa uang, maupun berupa barang seperti renovasi rumah atau penyewaan rumah.


b. Pembayaran Kas
Suap antara lain dilakukan melalui pembayaran uang tunai, namun kadang kala uang tunai kurang praktis digunakan dalam transaksi yang jumlahnya besar.
c. Pemberian cek dan alat pembayaran lainnya
Dalam pembayaran yang jumlahnya besar, maka suap biasanya dilakukan dengan menggunakan cek, atau transfer antar rekening bank dengan menggunakan istilah seperti konsultan fee atau menajemen fee dan lainnya. Pembayaran tersebut dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
d. Kepentingan yang tersembunyi
Kepentingan yang tersembunyi dilakukan dengan cara mengajak kerjasama (joint venture) dalam sebuah perusahaan, misalnya dengan pemberian saham, pemberian modal kepemilikan dan lain-lain.
Perjanjian seperti ini sangat sulit dideteksi karena dilakukan secara legal dan dapat dibuktikan dengan akte notaris.
e. Pinjaman
Ada beberapa jenis pinjaman dalam kasus kecurangan sebagai berikut:
1. Pembayaran kredit palsu, sehingga terkesan pinjaman (loan) yang diberikan bersih.
2. Pembayaran pinjaman dengan garansi yang dilakukan seseorang.
3. Pinjaman bank dibuat dengan syarat yang menguntungkan, seperti pembebasan bunga, bunga dibawah harga pasar dan lain-lain.
f. Pembayaran atas kartu kredit
Suap dapat terjadi melalui pembayaran kartu kredit seorang pejabat/pegawai oleh perusahaan untuk biaya perjalanan dinas, pembelian barang, transportasi dan liburan.
g. Transfer atau penjualan asset dibawah harga standar.


BAB III
PERANAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peranan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Dalam Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi
1. Ruang Lingkup Penugasan Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi
Adapun ruang lingkup penugasan Badan pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain :
1. Audit Investigatif
Audit Investigatif (Pemeriksaan Investigasi) dilakukan terhadap adanya indikasi dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pihak swasta yang terkait dengan keuangan negara dengan cara melawan hukum. Audit investigasi meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan dampak penyimpangan, menentukan pihak-pihak yang diduga terlibat dan atau bertanggung jawab atas penyimpangan. Sumber informasi diperoleh baik dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKP sendiri, ataupun dari permintaan instansi pemerintah atau dari surat pengaduan masyarakat serta informasi dari media massa .
Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) yang berindikasi tindak pidana korupsi akan diteruskan kepada pihak penyidik (Kejaksanaan/Kepolisian) untuk ditindak lanjuti sebagai dasar untuk dilakukan penyelidikan ataupun penyidikan
2. Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
Penugasan untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara atas dugaan telah terjadi perbuatan tindak pidana korupsi dilakukan atas dasar adanya permintaan dari pihak penyidik (Kejaksaan/Kepolisian) .
Permintaan perhitungan kerugian keuangan negara oleh penyidik dilakuan setelah diperoleh cukup bukti dugaan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan atau perekonomian negara dan dalam tahap penyidikan.


3. Pemberian Keterangan Ahli
Dalam pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan, maka Jaksa Penuntut Umum dapat meminta bantuan kepada instansi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menugaskan tim audit (auditor) untuk memberikan keterangan ahli di persidangan. Bantuan keterangan ahli di persidangan pada umumnya adalah tenaga auditor yang turut melakukan perhitungan kerugian keuangan negara atas tindak pidana korupsi tersebut, Namun tidak demikian, dapat juga ditugaskan staf BPKP lainnya yang tidak termasuk dalam tim audit yang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara bila menurut pimpinan BPKP hal tersebut dipandang perlu dilakukan .
4. Tenaga Auditor Berbantuan
Dimaksud dengan Tenaga Auditor Berbantuan adalah dalam hal adanya permintaan bantuan tenaga, baik dari pihak penyidik kepolisian meupun kejaksaan. Permintaan tenaga auditor BPKP dilakukan baik pada saat indikasi dugaan korupsi masih dalam tingkat penyelidikan atau pun dalam masa penyidikan. Pada umumnya permintaan dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dilakukan dengan resmi secara tertulis antara instansi. Permintaan tenaga auditor akan direspon oleh BPKP dengan mengirimkan nama-nama pegawai BPKP yang akan diperbantukan secara tertulis. Dalam hal tenaga berbantuan maka instansi yang meminta bantuan (Kepolisian/Kejaksaan) akan menerbitkan surat tugas resmi dimana dalam surat tugas tersebut, nama pegawai BPKP turut bersama-sama melakukan,baik ditingkat penyelidikan maupun tingkat penyidikan. Bantuan tenaga auditor sangat dibutuhkan terutama untuk menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan pembukuan perusahaan atau aliran keuangan, sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi.
5. Sosialisasi Program Anti Korupsi
Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi maka BPKP juga berperan serta mensosialisasikan program anti korupsi kepada masyarakat luas maupun instansi yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan pelayanan kepada masyarakat. Program sosialisasi dilakukan dengan cara antara lain : mengadakan seminar dan workshop dengan mengundang lembaga pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, mahasiswa, pelajar, tokoh masyarakat atau asosiasi-asosiasi dari sektor swasta.
Adapun materi yang disampaikan antara lain berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan korupsi, bagaimana korupsi dilakukan, mengapa orang mau melakukan korupsi, penyebab terjadinya korupsi dan bagaimana usaha-usaha mencegah terjadinya perbuatan korupsi. Sosialisasi ini lebih bersifat himbauan, ajakan, dan harapan agar semua lapisan masyarakat tidak mempunyai niat untuk melakukan korupsi. Dalam sosialisasi ini juga disampaikan pengaruh akibat dari korupsi terhadap negara dan perekonomian yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia umumnya.

2. Teknik Audit Penugasan Investigatif
Metode dan prosedur penanganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh BPKP pada umunya adalah sebagai berikut :
1. Penelaahan dan penelitian Informasi
(1). Sumber informasi
a. Laporan hasil pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh pihak BPKP yang perlu dikembangkan lebih lanjut karena diduga mengandung unsur tindak pidana korupsi.
b. Media massa
c. Permintaan Penyidik (Kejaksaan/Kepolisian)
d. Pengaduan masyarakat yang dialamatkan ke BPKP
(2). Penelaahan dan Penelitian Informasi
Penelahan dan penelitian informasi dimaksudkan untuk menetapkan kelayakan suatu informasi untuk dapat ditindak lanjuti dengan audit investigatif dan menentukan urutan prioritas penanganan kasus agar pemeriksaan (audit) berjalan dengan efektif dan efisien.
Hasil penelaahan dituangkan dalam bentuk resume yang menggambarkan :
a. Cukup alasan untuk dilakukan audit investigasi
b. Perlu dilakukan penambahan/pengembangan informasi lebih dahulu, bila hal ini terjadi maka dilakukan penelitian awal (litwal) untuk melengkapi dan menentukan kebenaran informasi serta ada tidaknya indikasi tindak pidana korupsi (TPK).
c. Tidak cukup alasan dilakukan audit investigasi.
2. Proses Pemeriksaan/Audit Investigasi
(1). Proses pemeriksaan dimulai dengan membuat program audit investigasi yang ditujukan untuk mengungkapkan :
a. Pengungkapan fakta-fakta dan proses kejadian
b. Unsur merugikan keuangan Negara
c. Unsur penyalahgunaan wewenang
d. Bukti yang cukup untuk membuktikan unsur tersebut diatas
e. Penyebab dan dampak penyimpangan
f. Pihak-pihak yang diduga terlibat/bertanggung jawab
Teknik yang dilakukan : peninjauan, pengamatan, wawancara, konfirmasi, penelusuran, perhitungan kembali dan penelaahan pintas.
(2). Kertas Kerja Audit (KKA) berisi hal-hal tersebut sebagai berikut :
a. Data umum objek pemeriksaan
b. Pengungkapan fakta-fakta dan proses kejadian berikut flow chart
c. Penyebab terjadinya penyimpangan dan dampak penyimpangan
d. Perhitungan kerugian keuangan negara
e. Pihak-pihak yang diduga terlibat/bertanggung jawab
f. Surat pernyataan kesanggupan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara
g. Berita acara permintaan keterangan (BAPK)
h. Berita acara lainnya (hasil pemeriksaan fisik pemeriksaan kas, hasil wawancara)
i. Surat undangan permintaan keterangan
j. Risalah kesepakatan antara BPKP dan Kejaksaan (setelah dilakukan ekspose exterm dengan pihak kejaksaan)
(3). Ekspose Intern, antara lain pemeriksaan dengan staf/pejabat BPKP untuk mendapatkan kesimpulan hasil audit investigasi yang akan dibicarakan dengan pihak obyek pemeriksaan.
(4). Pembicaraan akhir dengan obyek pemeriksaan yang berwenang untuk melaksanakan tindakan lanjut terhadap kasus tersebut, yang disertai dengan pemuatan risalah pembicaraan akhir audit investigasi yang berisi antara lain kesanggupan pihak obyek pemeriksaan untuk melaksanakan tindak lanjut.
Apabila berdasarkan hasil ekpose intern telah diyakini adanya indikasi kuat terpenuhinya unsur tindak pidana korupsi, maka pihak BPKP mengundang kejaksaan untuk melakukan pembahasan bersama (ekspose ekstern) mengenai kasus tersebut, apakah menurut pihak Kejaksaan dapat dilanjutkan penyelidikan dan/atau penyidikan atau diperlukan pemantapan awal atau menambah bukti-bukti lainnya.
3. Pelaporan Hasil Audit Investigasi
(1). Laporan hasil audit dalam hal dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan yang memerlukan tindak lanjut kasus berindikasi tindak pidana korupsi disampaikan kepada :
a. Kejaksaan Tinggi Setempat
b. Obyek Yang Diperiksa
c. Pejabat Yang berwenang Mengenakan Sanksi
d. Coordinator Pemeriksaan
e. Deputi Bidang Investigasi
(2). Dalam hal pemeriksaan dijumpai kasus pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan PP30/ 1980, sedangkan dalam hal tidak dijumpai adanya kasus berindikasi tindak pidana korupsi, maka distribusi laporan cukup disampaikan kepada :
a. Pejabat yang berwenang mengenakan sanksi PP 30 / 1980
b. Deputi Bidang Investigasi
c. Coordinator Pemeriksaan

3. Audit Investigasi dan Hubungannya Dengan Alat Bukti
Sebagaimana diatur bahwa alat bukti yang sah menurut KUHAP (Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981) adalah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Apabila kita melihat pada uraian pasal 187 ayat (2) huruf c bahwa yang dimaksud dengan bukti surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta resmi daripadanya, maka Laporan Audit Investigasi (LHAI) yang diterbitkan BPKP dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat sekaligus alat bukti petunjuk jika dihubungkan ke pasal 187 ayat (2) huruf c.
Pemberian keterangan ahli kepada penyidik biasanya oleh auditor yang mengaudit kasus yang bersangkutan, sedangkan keterangan ahli di sidang pengadilan dapat ditunjuk pejabat BPKP lain yang dipandang mampu.
Hasil perhitungan kerugian negara (termasuk yang tercantum dalam LHAI) pada akhirnya akan diminta oleh penyidik dan atau pengadilan untuk diterangkan oleh pejabat BPKP di depan penyidik dan atau pengadilan tersebut (dibawah sumpah). Keterangan pejabat tersebut akan menjadi alat bukti keterangan ahli .

B. Hambatan dan Kendala Yang Dihadapi
Sukses tidaknya suatu penugasan audit investigasi sangat tergantung pada faktor-faktor yang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas tersebut. dalam pelaksanaan pemeriksaan khusus yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selama ini, banyak hal yang dihadapi yang merupakan kendala dalam pelaksanaan audit dimaksud.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) penulis mencoba untuk menguraikan/mengidentifikasikan berbagai kendala tersebut, yaitu :
1. Faktor Eksternal
a. Dasar hukum
Keppres 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja LPND Jo Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2005 tentang perubahan kelima atas Keppres Nomor 103 tahun 2001 tidak secara tegas menyebutkan bahwa BPKP mempunyai wewenang untuk melakukan audit investigasi.
Dasar hukum pembentukan BPKP khususnya dalam pelaksanaan peran audit investigasi sangat lemah dan dapat diperdebatkan, termasuk posisinya yang dianggap tumpang tindih dengan APFP lainnya.
b. Keberadaan Otonomi Daerah
Otonomi daerah sering disalah artikan dimana pemerintah daerah merasa mempunyai kekuasaan mutlak untuk mengatur daerah masing-masing, termasuk dalam bidang audit investigasi. Badan Pengawas Daerah selaku aparat pengawasan daerah selalu dijadikan sebagai alat berlindung. Di lain pihak posisi aparat pengawasan daerah tidak independen dalam mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi, karena posisinya sebagai bagian dari pemerintah daerah.
c. Ketentuan yang bertentangan
Masih adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pengawasan yang saling bertentangan seperti dalam PP Nomor 20 tahun 2001 (lihat penjelasan pasal 11), mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan kebingungan dalam pelaksanaan pengawasan.
d. Akses
Kewenangan BPKP untuk memperoleh bukti-bukti pemeriksaan terbatas, tertutama yang menyangkut :
- Pihak diluar pemerintahan (swasta)
- Mengenai masalah perbankan
- Mengenai masalah perpajakan
- Wewenang dalam hal pelaksanaan seperti menghadirkan terperiksa dan melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan
Kalaupun dapat dilaksanakan namun prosedur yang ditempuh sangat rumit dan memakan waktu yang relatif lama.
e. Belum adanya kesatuan pandangan/persepsi terhadap “pengertian kerugian negara” antara pihak BPKP dengan pihak penyidik (Kejaksaan/Kepolisian). Disamping itu alat bukti yang sah dan kecukupan/kelengkapan bukti menurut penegak hukum dan pemeriksaan BPKP kadang berbeda sebagai akibat dari pendekatan yang berbeda yang dapat membuat waktu pemeriksaan menjadi lama.

2. Faktor Internal
a. Sumber daya manusia
Ketepatan dalam memilih auditor yang akan ditugaskan untuk melakukan audit investigasi sangat menentukan keberhasilan. tim auditor yang profesional sesuai standart audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) yaitu mencakup keahlian dan kecakapan tekhnis yang cukup. Dengan demikian perlu dilakukan pelatihan secara terus menerus untuk meningkatkan keahlian dan kecakapan dibidang audit investigasi.
b. Sumber pendanaan
Keberhasilan suatu penugasan audit bukan saja dipengaruhi faktor-faktor tekhnis audit dan sumber daya manusia saja, akan tetapi bergantung pula pada sumber dana pendukungnya. Kebutuhan dana meliputi biaya perjalana dinas, alat tulis kantor, biaya peralatan, biaya tenaga ahli maupun biaya ;lainnya yang menunjang kegiatan audit. Adanya keterbatasan dana merupakan hambatan dalam pelaksanaan audit investigasi
c. Perencanaan waktu
Aspek waktu dalam menyusun rencana penugasan audit merupakan aspek strategis dan sangat menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan unit pengawasan intern. Dalam pelaksanaanya perencanaan waktu belum disusun dengan baik sehingga mempengaruhi penyelesaian audit tepat waktu sesuai dengan kebutuhan pengguna laporan auditor.







BAB IV
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DAN ANALISA KASUS

A. Kasus
1. Kutipan Putusan Pengadilan Negeri
Berdasarkan Kutipan Putusan Pidana Nomor : 74/Pid.B/2006/PN-Kbj Tanggal 16 Agustus 2006 Pengadilan Negeri Kabanjahe memutuskan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Memutuskan memidana Terdakwa I Legimin bin Ahmad Jalil dan Terdakwa II Maju Tarigan dengan Pidana Penjara masing-masing selama 4 (empat) tahun, dan denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan masing-masing 4 (empat) bulan serta mewajibkan terdakwa-terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti Rp. 2.204.147.488,06,- (Dua milyard dua ratus empat juta seratus empat puluh tujuh ribu empat ratus delapan puluh delapan koma nol enam rupiah) dan jika para terdakwa-tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda para terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara masing-masing selama 8 (delapan) bulan. Masa penahanan yang dijalani terdakwa I dan Terdakwa II dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan. Memerintahkan Terdakwa I dan Terdakwa II tetap berada dalam tahanan serta membebankan biaya perkara kepada masing-masing terdakwa sebesar Rp. 2.500 (Dua ribu lima ratus rupiah)
Putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka oleh Hakim Ketua dengan dihadiri hakim-hakim anggota, Panitera Pengganti, Penuntut Umum dan dihadiri Terdakwa I dan Terdakwa II serta Penasehat Hukum Terdakwa I dan Terdakwa II. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti sejak tanggal 24 Agustus 2006.

2. Surat Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kabanjahe dengan memperhatikan hasil penyidikan menyusun surat dakwaan dan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri Kabanjahe dengan permintaan perkara tersebut diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, mendakwa Terdakwa I dan Terdakwa II yaitu nama Legimin Bin Ahmad Jalil, tempat lahir Simpang Raja Kab. Simalugun, umur 50 tahun, lahir 20 September 1956, laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Permai 7 No. 115 Tanjung Permai (BTN) Helvetia Medan, agama Islam, pekerjaan pegawai Perum Bulog (eks. Kepala Gudang Bulog Baru Kabanjahe), pendidikan SMA. Terdakwa II Maju Tarigan, Tempat lahir Sinembah Tanjung Morawa, Umur 40 Tahun, lahir 11 Juli 1966, kebangsaan Indonesia, laki-laki, tempat tinggal Jln Jamin Ginting Komplek Pijar Podi No.14 Kabanjahe, agama Islam, pekerjaan Pegawai Perum Bulog (Juru Timbang Gudang Bulog Baru Kabanjehe), pendidikan STM.
Dalam dakwaan diuraikan para terdakwa secara bersama-sama atau sendiri-sendiri telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Modus operandi yang dilakukan diuraikan bahwa pada waktu antara bulan Juli 1997 sampai dengan tanggal 19 Agustus 2004 terdakwa I sebagai Kepala Gudang pada Gudang Bulog Baru Kabanjahe dan terdakwa II sebagai juru Timbang telah mengeluarkan beras dari Gudang Bulog Baru Kabanjahe tanpa didasarkan adanya Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) atau Delivery Order (DO) yang diterbitkan Kepala Kantor Seksi Logistik Kabanjahe serta menjualnya kepada orang lain yang tidak berhak, kemudian uang hasil penjualan beras tersebut dibagi-bagi terdakwa untuk kepentingan sendiri.
Nilai kerugian keuangan negara sebagaimana tertuang dalam Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Utara aalah sebesar Rp. 2.204.562.237,06. Laporan Nomor : R-569/PW.02/5/2006 tanggal 8 Februari 2006. terhadap perbuatan pidana tersebut Jaksa Penuntut Umum mendakwa para terdakwa telah melakukan perbuatan Tindak Pidana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana Jo Pasal 3 Undang-undang RI. No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Ri. No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

3. Fakta-fakta yang Terungkap Dalam Pemeriksaan di Persidangan
Fakta-fakta yang terungkap secara berturut-turut berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menunjukkan telah terjadi tindak pidana yang dilakukan para terdakwa terbukti dan terpenuhi, Semua keterangan yang disampaikan saksi-saksi di persidangan sebelumya telah disumpah bagi yang beragama Islam dan berjanji bagi yang beragama Kristen Protestan. Atas semua keterangan saksi-saksi terdakwa mengakui dan menyesalinya.


4. Pembuktian Mengenai Unsur-unsur Tindak Pidana
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum menguraikan pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999, jo Undang-undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana yaitu :
1. Barangsiapa
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
3. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
5. Orang yang melakukan, menyuruh atau turut melakukan.

(1). Unsur Barangsiapa
Unsur barang siapa dalam pasal ini memberi petunjuk tentang subjek hukum yang harus dipertanggung jawabkan dalam perbuatan pidana korupsi. Dalam hal ini haruslah dilihat kaitannya dengan adanya kewenangan atau kedudukan yang melekat pada subjek hukum tersebut. dengan demikian dapat dimengerti bahwa unsur barangsiapa dalam pasal ini secara logis dimaksudkan adalah siapa saja atau setiap orang yang mempunyai kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa serta alat bukti surat telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Barangsiapa dalam hal ini dimaksudkan adalah Terdakwa Legiman bin Ahmad Jalil yang dalam kedudukannya sebagai kepala gudang yang mempunyai kewenangan dalam hal menerima, menyimpan dan menyalurkan beras dan dari gudang Bulog Kabanjahe dan terdakwa II Maju Tarigan sebagai kerani sejak tahun 1997 s/d 2003 yang bertugas membuat laporan atas beras yang keluar dari Gudang Bulog Baru Kabanjahe dan sebagai juru timbang sejak Mei 2003 s/d Agustus 2004 yang bertugas menimbang beras yang keluar sesuai Delivery Order (DO). Bahwa Legimin Bin Ahmad Jalil telah menjual Beras Bulog Kabanjahe tanpa didukung Delivery Order (DO) dan tidak dilakukan penimbangan atas kejadian tersebut serta Maju Tarigan yang mengetahui kejadian itu tidak melaporkannya kepada Kantor Divre I Medan yang seharusnya merupakan tugas terdakwa II. Oleh karena para terdakwa yang diajukan dalam persidangan telah terbukti tidak ada alasan pemaaf dan pembenaran maka terdakwa dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya menurut hukum.

(2) Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan maka terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku di lingkungan Badan Usaha Logistik yaitu mengeluarkan, menyalurkan, beras tanpa DO, menjual beras kepada orang yang tidak berhak dan hasil penjualan beras tersebut secara sepihak telah digunakan para terdakwa. Dengan demikian unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

(3). Unsur menyalah gunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa I selaku Kepala Gudang sejak tahun 1997 s/d Agustus 2004 mempunyai tugas dan fungsi menyimpan stock beras yang diperuntukkan guna memenuhi permintaan instansi pemerintah dan beras untuk keluarga miskin yang ada di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat serta tugas Terdakwa II sebagai juru timbang tentunya terikat akan tanggung jawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para terdakwa yang menyangkut pengelolaan barang negara berupa beras yang sudah ditentukan peruntukannya siapa yang berhak dan hal tersebut disadari para terdakwa. Dengan demikian maka unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi.

(4) Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dari pihak Bulog benar telah terjadi kekosongan beras di gudang Bulog Baru Kabanjahe sebanyak + 599.505,68 kg beras yang seharusnya masih ada pada tahun 2004. dari perhitungan nilai kerugian keuangan negara yang dituangkan dalam laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumatera Utara Nomor : R-569/PW02/5/2006 tanggal 8 Februari 2006 nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp. 2.204.562.237,06. dengan demikian unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi.

(5). Orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan
Bahwa didalam dictum maupun praktek peradilan di Indonesia unsur orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan disebut dengan unsur secara bersama-sama. Unsur bersama-sama dalam hal ini sedikit-dikitnya harus ada 2 (dua) orang yang berperan mewujudkan terjadinya suatu tindak pidana.
Dalam hal ini terdakwa I dan terdakwa II sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya tidak melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku di lingkungan Perum Bulog. Dari hasil penjualan beras tanpa adanya Delivery Order (DO) kepada orang yang tidak berhak dan hasil penjualan tersebut dibagi-bagikan oleh terdakwa I kepada terdakwa II untuk kepentingan sendiri serta terbukti terdakwa II tidak melaporkan terdakwa I atas perbuatannya kepada Kantor Divre I Medan. Dengan demikian perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama.

5. Penuntutan
Jaksa Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan.
(1). Menyatakan terdakwa I Legimin bin Ahmad Djalil dan terdakwa II Maju Tarigan terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 Undang-undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(2). Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa di tahanan. Pidana denda masing-masing Rp. 50.000.000,- sub 6 (enam) bulan kurungan serta mewajibkan terdakwa secara tanggung rentang untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 2.730.207.796 (Dua milyard tujuh ratus tiga puluh juta dua ratus tujuh ribu tujuh ratus sembilan puluh enam rupiah) dan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta benda para terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun serta membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

6. Putusan Majelis Hakim
Majelis hakim setelah melakukan musyawarah yang dipimpin hakim ketua dan 2 (dua) hakim anggota membacakan putusan yang terbuka untuk umum dan dihadiri para terdakwa, Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum para terdakwa menjatuhkan hukuman pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) tahun dan denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti kurungan masing-masing 4 (empat) bulan, serta mewajibkan para terdakwa Idan II secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti Rp. 2.204.147.488,06 (Dua milyard dua ratus empat juta seratus empat puluh tujuh ribu empat ratus delapan puluh delapan koma nol enam rupiah) dan jika para terdakwa I dan II tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta benda terdakwa I dan II dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terdakwa-terdakwa tidak mempuyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara masing-masing selama 8 (delapan) bulan, serta menerapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa I dan terdakwa II dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan.

B. Analisa kasus
Analisa atas kasus sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

I. Analisa Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini hak asasi meminta dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.
Teori pembuktian yang digunakan dalam kasus ini sesuai dengan dianut dalam sistem hukum di Indonesia yaitu teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis. Alasan yang logis dimaksudkan berpangkal atau berdasarkan undang-undang negative (negative wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Penjelasan pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

1. Keterangan saksi :
Dalam kasus tindak pidana korupsi yang terjadi pada kasus sebagaimana diuraikan pada halaman sebelumnya, pada dasarnya para saksi memberikan keterangan tentang hal-hal keadaan-keadaan yang dialami, dilihat atau didengar olehnya sendiri sebelum memberikan keterangan saksi-saksi terlebih dahulu disumpah atau berjanji menurut agama atau kepercayaan masing-masing sehingga memiki nilai kesaksian sebagai alat bukti dari keterangan saksi-saksi didepan persidangan terdapat persesuaian satu dengan yang lainnya tentang proses terjadinya perbuatan pidana.

2. Keterangan Ahli :
Untuk memperoleh kebenaran sejati, hakim dapat minta bantuan seorang ahli (expertis, deskundigen). Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan objektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal. Sebagai azas dalam peradilan, hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang tidak mengaturnya.
Dalam kasus tersebut di atas, untuk memberi keterangan ahli maka Jaksa Penuntut Umum menghadirkan tim auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memberikan keterangan ahli didepan persidangan sebelum memberikan keterangan ahli terlebih dahulu disumpah atau berjanji sesuai dengan agama yang diyakininya. Pada persidangan hakim meminta keterangan kepada auditor BPKP tentang ada tidaknya kerugian keuangan negara. Bagaimana kerugian keuangan negara cara perhitungan dan metode yang digunakan serta berapa jumlah nilai kerugian keuangan negara akibat penyimpangan yang dilakukan. Dalam hal perhitungan kerugian keuangan negara dokumen apa saja yang digunakan dan bagaimana cara memperoleh data yang berkaitan dengan perhitungan kerugian keuangan negara. Keterangan ahli dari auditor BPKP sebelumnya sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan, atau pekerjaan. Keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai alat bukti “Keterangan Ahli” (pasal 186 KUHAP) dibedakan dengan keterangan seorang ahli secara tertulis diluar sidang pengadilan sebagai alat bukti “Surat” (pasal 187 butir c KUHAP).
Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh auditor BPKP dengan surat pengantar Kepala Kantor BPKP dikaitkan dengan alat bukti “Surat” sedangkan keterangan yang disampaikan dipersidangan sebagai alat bukti “Keterangan Ahli”.
Terhadap keterangan ahli dari tim auditor BPKP ternyata terdapat persesuaian dengan alat bukti lainnya yaitu bukti surat sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim.

3. Surat
Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP yang terdiri dari 4 (empat) ayat. Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan disitu, antara lain tentang hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam HIR dan Ned.sv yang lama ditentukan bahwa ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun surat-surat khusus didalam hukum acara perdata selalu berlaku juga didalam penilaian khusus acara pidana tentang kekuatan bukti surat-surat. Tetapi dalam Ned.sv yang baru tidak diatur lagi hal yang demikian. Kepada hakimlah diminta kecermatan dalam mempertimbangkan bukti berupa surat. Dalam hal ini hanya akte authentic yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.
Defenisi “surat” menurut asser anema sebagai berikut : “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengundang tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Perhatian dengan alat bukti surat dalam hal tersebut diatas maka segala aturan ketentuan yang diberlakukan pada Perum Bulog Kabanjahe yang berhubungan dengan tata laksana yang menjadi tanggung jawab para terdakwa digunakan sebagai pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Laporan BPKP bernama alat bukti surat serta surat-surat lainnya yang mempunyai hubungan dengan isi alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk
Yang dimaksud dengan petunjuk adalah perbuatan kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kata “menandakan” dipergunakan karena kepastian bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak mungkin diperoleh. Dengan demikian mengenai perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk, tidak dapat disyaratkan, lebih banyak selain adanya kesesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan yang dapat menunjukkan adanya kesalahan terdakwa.
Pasal 188 ayat (2) KUHAP menjelaskan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diperoleh dari :
- Keterangan saksi
- Surat
- Keterangan terdakwa
Pasal 188 ayat (3) KUHAP menyebabkan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Khusus mengenai tindak pidana korupsi, dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 alat bukti petunjuk diperluas mengenai sumbernya, alat bukti petunjuk dalam tindak pidana pada umumnya diperoleh Hakim dari keterangan saksi; surat dan keterangan terdakwa, dipersidangan, sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 26 A undang-undang No. 20 Tahun 2001, alat bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang berupa dengan itu, dan
b. Dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Maksud dari “penyimpanan secara elektronik” adalah data yang disimpan dalam bentuk mikro film, comcat disk read only memory (CD-ROM). Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optic” atau yang serupa dengan itu adalah tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, (e-mail) telegram, teleks dan faksimil.

5. Keterangan Terdakwa.
Keterangan terdakwa diatur dalam pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :
1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang pengadilan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah seharusnya yang dimaksud dengan keterangan terdakwa adalah apa yang ia nyatakan dipengadilan tentang perbuatan apa yang dilakukannya disertai dengan keterangan dari keadaan tertentu, maksudnya agar keterangan terdakwa didepan sidang pengadilan harus disertai cara-cara bagaimanakah ia melakukan perbuatannya. Kemudian juga dengan ayat (4) tidak cukup keterangan terdakwa saja dan disertai dengan alat bukti yang lain. Terdakwa harus menerangkan cara-cara ia melakukan perbuatan itu.
Jadi berdasarkan pasal tersebut diatas, seluruh keterangan terdakwa didepan harus untuk menjadi bukti yang sempurna, harus disertai dengan keterangan yang jelas tentang keadaan saat peristiwa pidana diperbuat dan semua atau sebahagian keterangan terdakwa tersebut harus cocok dengan keterangan si korban atau dengan lain-lain bukti. Syarat ini penting karena ada kemungkinan suatu keterangan terdakwa bertentangan dengan kebenaran materiil, sehingga ada kemungkinan terdakwa memberikan keterangan palsu.
Dalam kasus tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan sebelumnya, keterangan terdakwa ternyata mempunyai kesesuaian dengan alat bukti lainnya dan terdakwa-terdakwa mengaku terus terang atas perbuatannya dan sangat menyesali perbuatannya tersebut.



II. Peranan BPKP Dalam Kasus
(1). Perhitungan Kerugian Keuangan Negara.
Untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, pihak penyidik Kepolisian Resort Kabanjahe mengirimkan surat kepada Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara untuk bantuan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, merespon permintaan tersebut kepada Perwakilan BPKP Propinsi Sumatera Utara mengirimkan tim auditor dan melakukan perhitungan kerugian keuangan dimana data-data yang berkaitan dengan perhitungan disiapkan oleh tim penyidik Kepolisian Resort Kabanjahe. Perhitungan didasarkan atas data atau dokumen yang berhubungan dengan penerimaan atau pengeluaran beras dari gudang serta dokumen pendukung lainnya seperti Delivery Order (DO) dan surat perintah pengeluaran barang hasil stock opname (pemeriksaan fisik) persediaan barang juga digunakan sebagai dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara. Dasar permintaan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) didasarkan atas perjanjian kerjasama dengan Kapolri dalam membantu penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil perhitungan kerugian keuangan negara ditujukan kepada penyidik melalui Kapolres Kabanjahe dan bagian dari berkas penyidikan yang dikirimkan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk dilakukan penuntutan.
Dari putusan pengadilan hakim telah memutuskan bahwa para terdakwa bayar uang pengganti sebesar Rp. 2.204.147,488,06 sesuai dengan laporan perhitungan tang dibuat oleh tim auditor BPKP. Laporan BPKP dalam hal ini merupakan alat bukti surat.

(2). Permintaan Katerangan Ahli
Dalam pemeriksaan dipengadilan, Jaksa Penuntut Umum meminta tim auditor BPKP Perwakilan Sumatera Utara untuk memberikan keterangan ahli:
Adapun keterangan yang disampaikan dipersidangan setelah terlebih dahulu disumpah atau berjanji seputar ada tidaknya kerugian keuangan negara dan bagaimana cara yang dilakukan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Disamping hal ini Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa juga menanyakan tentang data atau dokumen apa yang digunakan untuk melakukan perhitungan. Keterangan yang disampaikan auditor BPKP didepan Majelis Hakim pada wakil di Pengadilan merupakan alat bukti keterangan ahli.
KUHAP tidak mendefenisikan siapa yang dapat menjadi ahli tetapi hanya mendefenisikan keterangan ahli saja, namun demikian menurut Kasim Nasution yang dikutip Djoko Prakoso dikatakan bahwa perkataan ahli janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang telah memperoleh pendidikan khusus, atau orang yang telah memiliki suatu ijazah tertentu ahli itu tidaklah perlu merupakan seorang spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja mempunyai pengetahuan dan pengalaman khusus mengenai sesuatu hal atau mempunyai lebih banyak pengetahuan atau pengalaman tentang soal itu.
Dengan demikian keterangan auditor BPKP yang diberikan dimuka sidang pengadilan dibawah sumpah tentang jumlah kerugian keuangan negara merupakan alat bukti keterangan ahli.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam membantu pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Bantuan yang dapat diberikan kepada penyidik antara lain :
a. Melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, dalam hal telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi.
b. Tugas pembantuan kepada penyidik kepolisian maupun Kejaksaan dalam tingkat penyelidikan ataupun penyidikan suatu perkara tindak pidana korupsi..
c. Permintaan memberikan keterangan ahli didepan persidangan pengadilan setelah disumpah atau berjanji sesuai agama yang dipercayai.
3. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan audit/pemeriksaan) dan pengawasan atas harta kekayaan negara dapat melaporkan kepada penyidik Kepolisian ataupun Kejaksaan bilamana ditemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan kekayaan negara.
4. Laporan hasil pemeriksaan Audit Investigatif yang disampaikan kepada penyidik merupakan bukti permulaan atau sebagai petunjuk bagi penyidik untuk dilakukan penyelidikan atau penyidikan.
5. Laporan BPKP untuk ditindak lanjuti oleh pihak penyidik (Kepolisan/Kejaksaan) sebelumnya harus dilakuan ekspose kasus untuk menilai layak tidaknya kasus tersebut untuk ditindaklanjuti atau masih diperlukan informasi tambahan sebagai pelengkap bukti permulaan.
6. Permintaan pihak penyidik untuk dilakukan perhitungan kerugian keuangan negara maka pihak penyidik terlebih dahulu melakukan ekspose di hadapan auditor BPKP untuk mengetahui modus operandi kasus dan dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi dengan cara melawan hukum sesuai dengan undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
7. Payung hukum BPKP dalam melakukan tugas pokok dan fungsi khususnya dalam ikut serta memberantas tindak pidana korupsi hanya diatur dalam Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2003 dalam penjelasannya tidak secara tegas menyebutkan tugas yang diemban.
8. Tidak seluruhnya kekayaan negara dapat di audit atau dalam Pengawasan BPKP, khususnya anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang telah go publik (menjual saham, obligasi) dipasar modal, kecuali atas permintaan pihak penyidik atau instansi itu sendiri

B. Saran
1. Payung hukum adanya lembaga BPKP perlu ditingkatkan setidak-tidaknya dengan Undang-undang untuk dapat melakukan audit atau pengawasan atas kekayaan keuangan negara.
2. Diberikannya kewenangan kepada auditor BPKP sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi
3. Perlunya peningkatan keahlian dan kecakapan tekhnis yang cukup dibidang audit investigasi dengan pendidikan pelatihan yang berkesinambungan.
4. Tersedianya sumber pendanaan dan fasilitas yang cukup untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas audit investigasi oleh BPKP.
5. Penyusunan perencaaan waktu agar disusun dengan baik sehingga penyelesaian audit investigasi dapat dilakukan tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan pengguna laporan auditor (stake holders).

1 komentar:

  1. 1xbet - No 1xbet Casino | Live dealer casino online
    1xbet is 토토 사이트 추천 a reliable casino septcasino site https://deccasino.com/review/merit-casino/ that offers a great casino gri-go.com games from the best software providers for 1xbet 먹튀 the regulated gambling markets. Rating: 8/10 · ‎Review by a Tripadvisor user · ‎Free · ‎Sports

    BalasHapus