Image Sweet

Image Sweet
Brastagi Natural

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Rabu, 17 Februari 2010

PERMOHONAN PAILIT OLEH KEJAKSAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 STUDI KASUS PENGADILAN NIAGA MEDAN ( PUTUSAN No. 02/Pailit/2005/PN. Niaga/Medan )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ketika terjadi krisis moneter dipertengahan tahun 1997 yang telah melanda hampir seluruh belahan dunia dengan dampaknya yang buruk terhadap perekonomian nasional dan dunia usaha. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang melanda dan tidak sedikit juga dunia usaha yang gulung tikar.
Dalam kondisi yang sangat tidak menguntugkan dan serba tidak menentu, persoalan yang paling krusial pada waktu itu adalah bagaimana penyelesaian utang-piutang di kalangan dunia usaha. Para kreditur baik asing maupun lokal dengan segala daya upayanya mendesak agar para debitur yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi kewajibannya.
Situasi dunia usaha saat itu menjadi tidak kondusif dalam melunasi utang sebab kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang asing lainnya, apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing sedangkan pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kerugian usaha telah lumpuh sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah berubah menjadi krisis multidimensional.
Segala upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi adanya kecendrungan dunia usaha yang bangkrut yang berakibat pula tidak dapat dipenuhi kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, yang antara lain dengan melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adala dengan merevisi Undang-undang Kepailitan yang ada .
Revisi atas undang-undang kepailitan yang hendak dilakukan oleh pemerintah sebenarnya timbul sebagai akibat dari adanya tekanan dari dana Moneter Internasional/Internasional Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar Indoesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitur kepada kreditur.
Secara teoritik, pada umumnya utang-piutang debitur yang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya. Mereka dapat pula merubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditur dapat menggugat berdasarkan perundang-undangan Hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitur mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Dan selain kemungkinan tadi diatas, bila debitur tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai jalan terakhir barulah para kreditur menempuh pemecahan melalui peraturan kepailitan yaitu Undang-undang No. 37 Tahun 2004 dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya.
Kepailitan merupakan proses dimana:
1. Seorang debitur yang mempunyai kesulitan keungan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, diakarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
2. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan kepailitan.
Sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang No. 37 tahun 2004, maka kejaksaan dapat menggunakan haknya itu untuk mengajukan pailit terhadap seorang debitur yang tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal ini dilakukan dengan alasan demi kepentingan umum.
Perkara permohonan pernyataan pailit dalam skripsi ini diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT Aneka Surya Agung yang berkedudukan di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara yang diajukan ke Pengadilan Niaga Medan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka penulis menarik untuk menelaah aspek yuridis permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT. Aneka Suya Agung.

B. Permasalahan
Berbagai krisis yang melanda tanah air yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia usaha yang menyebabkan banyaknya dunia usaha yang tidak dapat melanjutkan usahanya, bahkan berhenti beroperasi.
Untuk melanjutkan dunia usahanya yang sempat mengalami kemunduran atau kebangkrutan, banyak yang dilakukan para pengusaha untuk memulihkan kembali dunia usahanya dengan jalan meminjam modal dari pihak lain terutama pihak bank ataupun dari perusahaan-perusahaan lain yang bisa meminjamkan modal tersebut.
Permohonan pernyataan pailit adalah salah satu langkah yang diambil untuk meyelesaikan masalah apabila dikemudian hari pihak yang tidak sanggup untuk mengembalikan utang-piutang tersebut untuk dinyatakan dalam kepailitan. Dengan diadakan kepailitan tersebut kemungkinan akan dapat memberikan jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah utang-piutang.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka penulis akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan di dalam skripsi yang berjudul Permohonan Pailit oleh Kejaksaan terhadap PT Aneka Surya Agung menurut Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana proses permohonan pernyataan pailit oleh kejaksaan melalui Pengadilan Niaga?
2. Apakah alasan-alasan kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Aneka Surya Agung ?
3. Bagaimanakah penerapan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 atas perkara permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT. Aneka Surya Agung?

C. Tujuan Pembahasan
Dilatar belakangi dari keingintahuan penulis, maka akan mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan tujuan dan manfaat penulis.Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh Kejaksaan melalui Pengadilan Niaga.
2. Untuk mengetahui apa alasan-alasan kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Aneka Surya Agung.
3. Untuk mengetahui penerapan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 atas perkara permohonan kepailitan yang dijukan Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT. Aneka Surya Agung.



D. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan maka digunakan berbagai metode. Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, kemudian menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut cara tertentu.
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulisan untuk menyelesaikan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Tipe Penelitian
Tipe Penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undang. Penelitian ini disebut juga dengan istilah penelitian doktrinal (Doctrinal Research), yaitu penelitian yang menganalisi hukum baik yang tertulis didalam buku (Law as is written in the book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.
0Pengumpulan bahan dilakukan melalui studi keputusan (Library Research) yakni dengan mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan kripsi ini.
Metode penelitian hukum normatif ini dipilih adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan dilaksanakan di Indonesia.
Disamping itu juga menggunakan metode penelitian studi kasus (Case Studi) yakni dengan cara mencari satu perkara kepailitan yang telah diputuskan di Pengadilan Niaga untuk dianalisi sesuai dengan Peraturan kepailitan yang berlaku.

2. Pendekatan Masalah
Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode penelitian hukum normatif maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undang, pendekatan konsep dan pendekatan perbandingan.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkait dengan judul skripsi ini. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep dalam pengadilan putusan dalam permohonan pernyataan kepailitan sehingga hakim yang memutuskan permohonan pernyataan kepailitan dapat dilakukan dengan banar sedangkan pendekatan perbadingan dilakukan untuk melihat perbandingan ketentuan kepailitan yang baru terutama Undang-undang No.37 Tahun 2004.

3. Bahan Hukum.
Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi ;
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang berkaitan langsung dengan masalah yang akan dibahas dalam penulsian skripsi ini.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pembahasan tentang kepailitan.
c. Bahan hukum tersier (Bahan Hukum Penunjang) adalah bahan hukum yang primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan menurut sumber dan hierakinya untuk diuji, yang berasal dari literatur-literatur yang ada kaitannyan dengan skipsi ini.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam 5 (Lima) bab yang tiap–tiap bab dibagi lagi atas sub-bab, maksudnya adalah untuk mempermudah penguraian dan pembahasannya dapat dilakukan secara sistematis.
Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab I (satu) pendahuluan ini menguraikan dan membahas tentang Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan Pembahasan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN TENTANG KEJAKSAAN
Dalam Bab II (dua) ini menguraikan dan membahas tentang Pengertian Kejaksaan, Sejarah Kejaksaan serta Fungsi dan Tugas Kejaksaan
BAB III : TENTANG KEPAILITAN
Dalam Bab III (tiga) ini menguraikan dan membahas tentang Pengertian Kepailitan, Sejarah Hukum Kepailitan serta Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Kepailitan
BAB IV : KASUS PERMOHONAN PAILIT OLEH KEJAKSAAN
Dalam Bab IV (empat) ini menguraikan dan membahas tentang Posisi Kasus serta Analisa Kasus Mengenai Proses Permohonan Pailit Oleh Kejaksaan, Alasan Kejaksnaan Mengajukan Permohonan Pailit dan Penerapan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) Atas Perkara Kepailitan Yang Diajukan oleh Kejaksaan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V (lima) ini adalah merupakan Bab yang terakhir, dimana dalam Bab ini diuraikan beberapa Kesimpulan dan Saran yang dianggap berguna sehubungan dengan penulisan skripsi ini.

BAB II
TINJAUAN TENTANG KEJAKSAAN

A. Pengertian Kejaksaan
Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya, kiranya perlu untuk mengetahui tentang pengertian kejaksaan dan jaksa.
Menurut Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang .
Sedangkan yang disebut Jaksa adalah dari asal kata “Adhyaksa,” kata tersebut berasal dari bahasa sansekerta yang dapat diartikan berbagai arti, seperti :
1. Superintendant atau.
2. Pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama budha maupun Syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan di sekitar istana, Dismping itu juga bertugas sebagai Hakim dan demikian ia berada di bawah perintah serta pengawasan Maha Patih.
Di dalam pasal 1 Butir 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap .
Menurut Konsep R. Tresna, antara lain menyatakan : Bahwa nama jaksa atau yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabat yang sebelum pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukan pekerjaan yang sama.
Kemudian sesuai dengan lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep/JA/7/1978 menyatakan bahwa Pengertian Jaksa adalah : Jaksa asal kata dari Seloka Satya Adhy Wicaksana yang merupakan Trapsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan cita-cita setiap warga Adhyaksa yang mempunyai arti serta makna sebagai berikut :
 SATYA, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia.
 ADHI, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa terhadap keluarga dan terhadap sesama manuasia.
 WICAKSANA, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapnya kekuasaan dan kewenangannya
Demikianlah beberapa konsep pengertian jaksa ditinjau dari sudut etimologi bahasa, khususnya mengenai asal-usul perkataan atau sebutan jaksa yang bersumber dari Bahas Sansekerta atau Bahasa Jawa Kuno (Jawa Kawi).
“Penuntutan” dalam Bahasa Inggris adalah Prosecution dan berasal dari bahasa Latin Prosecutus. Kata tersebut terdiri dari Pro (sebelum) dan sequi (mengikuti) dengan pengertian sebagai “Proses Perkara dari permulaan sampai selelai.” Maka “Penuntut” (prosecutor) atau jaksa itu adalah seseorang yang berwenang membuat dakwaan.
Dalam bahasa Inggris, pengertian jaksa ialah Public Prosecutor (Jaksa Umum atau Jaksa Biasa), Jaksa Agung (Attorney General). Kantor Kejaksaan (Office of a public Prosecuter, office of Council for the prosecution).
Dalam kamus Webster’s New World Dictionary, public atau umum diberi batasan sebagai “Acting in an official capacity on behalf of the people as a whole as, a pubic prosecutor”, artinya “Melakukan tindakan resmi atas nama khalayal, misalnya seorang penuntut umum.”
Dalam konteks Public prosecutor, kata public itu dapat ditelusuri ke zaman dimana penuntutan itu sifatnya private (Perorangan/swasta). Penuntut umum memang merupakan kebalikan dari penuntut swasta. sekarang pun penuntut swasta itu masih diakui di Muangthai, Fhilipina, Perancis, Belgia, Inggris, dan Skotlandia, walaupun sudah semakin kecil peranannya. Lagi pula pada akhirnya penuntut swasta harus didampingi seorang jaksa (penuntut umum) juga.
Disamping itu, perlu diketahui bahwa di Inggris ada tiga macam Jaksa yaitu Public Prosecutor, Police Prosecutor dan by Private Citizen and Bodies. Kemudian di Amerika Serikat, Istilah jaksa disebut District Attorney, sebab seorang jaksa dipilih oleh masyarakat di dalam satu distrik atau daerah. Jadi status tersebut diartikan sebagai “Jaksa Daerah”.
Sejak tahun 1986 Inggris menggunakan sebutan Crown Prosecutor atau “Jaksa Mahkota” bagi pakar hukum yang disebut Solicitor, yaitu pengacara yang mengurus dan menuntut sebagian besar perkara-perkara pidana . Sedangkan penuntut perkara-perkara pidana yang hanya dapat disidangkan untuk pertama kali di Pengadilan Tinggi (Hight Court) masih diurus dan dijalankan oleh pengacara yang disebut “Barrister” bukan bagi “Solicitor”. Adapun di Kanada “Crown Prosecutor” atau “Crown Attorney” itu adalah jaksa federal atau jaksa provisi atau jaksa ditingkat lokal .
Di Jerman sebutannya adalah Staatsanwalt atau “Pengacara Negara”. Di negeri Belanda Jaksa itu adalah “Officier van Justitie” atau “Perwira Kehakiman”. Di Perancis dan di Belgia, Jaksa itu masing-masig disebut “Procureurde la Republique” atau “Pengacara Republik ” dan “Procereur du Roi” atau “Pengacara Raja”. Di Italia sebutannya menjadi “Procuratore” dan di Spanyol menjadi “Procurador,” dan di negara-negara Eropa Timur sudah biaas diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris menjadi “Pracurator”, atau “Prosecutor”.
Demikian juga di Skotlandia sebutan”Pracurator” sudah lama digunakan dan digabungkan dengan kata “Fiscal”. oleh karena itu di Skotlandia jaksa itu disebut “Procurator Fiscal”.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa jika ditinjau dari sudut etimologi bahasa atau asal usul perkataan jaksa, nampaknya memang sangat luas pengertiannya. Oleh karena itu bagi seseorang yang berminat dengan asal usul perkataan jaksa ditinjau dari sudut etimologi bahas, agaknya perlu sekali dilakukan upaya penelitian dari berbagai bahasa, dengan maksud agar dapat lebih banyak mengungkapkan tentang peranan dan kekuasaan jaksa. Hal ini penting agar cakrawala informasi ilmiah dapat semakin bartambah dan berkembang.
Sedangkan mengenai pengeritan kejaksaan terdapat pad apasal 2 ayat (1) undang-undang Nomor 16 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang .
B. Sejarah Kejaksaan
Dalam bahasa asing khususnya bahasa Inggris, sejarah dinyatakan dengan kata History, Story, Genealogi. Sesungguhnya asal kata tersebut berasal dari bahasa Yunani yaitu Historial, yang mempunyai arti Hasil Penelitian.
Menurut seorang ahli Sosiologi Hukum Indonesia, yaitu Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA., Pengertian sejarah dinyatakan sebagai berikut : “Disatu pihak sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian, yaitu suatu penyajian dari kejadian-kejadian tersebut. Selain dari pada itu sejarah merupakan suatu buku yang berisikan riwayat dari suatu bangsa masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sejarah juga merupakan penulis dan secara sistematis dari gejala-gejala tertentu yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, suatu lembaga atau kelompok sosial yang biasanya disertai dengan suatu penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala-gejala tersebut. Pendeknya sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretatif, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau yang ada hubungannya dengan masa kini”.
Dalam mempelajari sejarah terutama sejarah hukum kiranya dapat dilihat dalam pidato sambutan dan pengarahan pada Simposium Sejarah Hukum di Jakarta, dari tanggal 1 sampai 3 April 1975 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut : “Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajagi berbagi aspek hukum Indonesia pada masa lalu, hal mana akan dapat bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah hukum serta insitusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita”.
Disamping uraian tentang sejarah hukum sebagaimana ditegaskan pada bagian terdahulu, kiranya perlu diketahui bahwa sejarah Kejaksaan Republik Indonesia bukan hanya berisi tentang kronologis ataupun rekonstruksi pada masa kini dan mengenai pengalaman-pengalaman di masa silam yang tidak mungkin dikembalikan lagi.
Untuk mempermudah mudah pemahaman tentang sejarah Kejaksaan di Indonesia, maka akan dibagi atas tiga (3) periode waktu, yaitu:
1. Periode Masa Kerajaan-kerajaan
2. Periode Masa Penjajahan
3. Periode Masa Indonesia Merdeka

1. Periode Masa Kerajaan-kerajaan
Pada periode ini pada prinsipnya hanya diuraikan pada dua (2) masa berkuasanya kerajaan, yaitu kerajaan Majapahit dan Mataram. Adapun mengenai pemilihan dua kerajaan tersebut kiranya dilandasi oleh pertimbangan tertentu yaitu dinilai dari kemampuan dua kerajaan itu terutama dalam menguasai wilayah geopolitiknya ketika masa dahulu kala.
Kekuasaan itu teristimewa melekat dan dimiliki oleh kerajaan terkuat di wilayah Asia Tenggara, yaitu kerajaan Majapahit dan Mataram. Namun, demikian, juga tidak menyampingkan peranan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kejaksaan ketika masih berkuasanya kerajaan Singasari maupun pada dinasti di Kesultanan Cirebon. .

a. Masa Kerajaan Majapahit
Dari khazanah perbendaharaan sejarah di tanah air kita serta berbagai disiplin ilmu yang lain, telah disingkapkan oleh para ahli dalam bidang masing-masing bahwa dari zaman bahari suku-suku bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi serta sistem peradilan yang memadai dengan situasi dan kondisi pada masing-masing lingkungannya.
Berdasarkan data sejarah nasional di zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu kerajaan Majapahit, telah menunjukkan bahwa ada beberapa jabatan di negara tersebut dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadhyaksa. Ketiga istilah tersebut berasal dari Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Sansekerta.
Peran kejaksaan telah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat Indonesia Kuno. Dalam masa kekuasaan kerajaan Majapahit, Gajahmada sebagai Mahapatih juga mempunyai kedudukan sebagai Jaksa negara atau Raja Jaksa, yang tugasnya mengawasi pelaksanaan Undang-undang Raja atau Shiti Narendran. Dalam hal ini Gajah Mada harus menyusun suatu rencana lengkap dalam soal sengketa yang penting. Uraian tersebut dapat dilihat dalam buku Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, oleh Kusmadi Pudjosewojo, yang menyatakan sebagai berikut : “Diantara kitab-kitab hukum yang terdapat dari abad-abad dahulu itu ada beberapa yang disebut oleh para sarjana seperti Prof. Krom dalam bukunya” Hindoe-Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Van Vollen Hoven dalam bukunya “Adat Recht”, Jilid II Sebuah kitab hukum bernama “Hukum Gajah Mada”. Gajah mada adalah pepatih negara Majapahit dari tahun 1331-1364. Orang kuat ini sebagai Adhyaksa (Jaksa) menyelenggarakan segala Shiti Narendran (Undang-Undang Raja) dan sebagai Astapadha Raja memberikan laporan pada peradilan perkara-perkara yang sulit-sulit dan atas usahanya tersusunlan semua piagam-piagam perihal yang dikenal pada masa itu berupa kitab hukum, yang disebut kitab hukum Gajahmada”.
Menurut penjelasan Dr. Stuterheim, dalam karyanya “Het Hindoisme in Den Archipel”. menyatakan bahwa Dhyaksa adalah pejabat negara di Zaman Kerajaan Majapahit, ketika ada di bawah kekuasaan Perabu Hayam Wuruk (1350-1389), yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan dan pengawasan Mahapatih Gajahmada.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Dhyaksa adalah Hakim Pengadilan, sedangkan Adhyaksa Hakim Tertinggi, yang memimpin dan mengawasi para Dhyaksa. Dengan demikian Adhyaksa bekerja sebagai Pengawas (Opzichter) atau hakim Tertinggi (Opperrechter).
Selanjutnya tugas Gajahmada dalam urusan penegakan hukum bukan hanya sekedar bertindak sebagaI Adhyaksa, akan tetapi menjalankan juga segala Peraturan Raja dan Shiti Narendran, dan melaporlan perkara-perkara sulit ke pengadilan. Jadi tugas yang disebut terakhir ini mirip dengan tugas jaksa selaku penyerah perkara pada dewasa ini.
Dari para Adhyaksa ini dan dari Dhyaksa dituntut kemahiran dan keahlihan dalam Kitab Hukum Hindu Kuno yang sudah diakui oleh hukum adat dan sesuai dengan perasaan atau pendapat para rohaniawan serta para cendekiawan yang mendapingi para Dhyaksa tadi. Sehubungan dengan hal tersebut, pengertian Dhyaksa adalah seorang yang mahir atau ahli dalam soal hukum, sedangkan Adhyaksa adalah sebagai pengawas dan kadi.
Kemudian pada Zaman Kerajaan Majapahit maupun Kerajaan Singasari dalam abad ke XIII, raja didampingi oleh Dharmadhyaksa yaitu yang melaksanakan tugas dalam urusan rumah agama Syiwa dan Budha. Disamping sebagai petugas dalam bidang keagamaan, Dharmadhyaksa mempunyai tiga pengertian dalam melaksanakan tugasnya, yaitu:
1. Sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci (Superintendent)
2. Sebagai pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (Religie)
3. Sebagai Ketua Pengadilan.
Adapun tugas-tugas Dharmadyaksa dalam bidang keagamaan baik dalam agama Syiwa dan Budha, masing-masing disebut darmadhyaksa Ring Kekecewaan dan Dharmadhyaksa Ring Kasogatan.
Walaupun urusan pengadilan ditangani oleh para Dhyaksa dengan didampingi para cendekiawan dan para rohaniawan di bawah pimpinan dan pengawasan tertinggi Gajahmada selaku Adhyaksa, tetapi semua ada dibawah Perintah Sang Prabu Hayam Wuruk. Oleh karena kesibukannya dalam urusan pemerintahan, adakalanya tidak sempat menghadiri jalannya peradilan. Agar dapat selalu mengikuti pelaksanaan peradilan, kemudian Prabu Hayam Wuruk mengutus kemenakannya sendiri yaitu Wirakramawardhana, selaku Wakil Raja dalam urusan peradilan atau Crinarendradhipa.
Namun demikian tidak semua putusan pengadilan dalam perkara pidana dijatuhkan oleh para Dhyaksa. Mengenai dusta, corah atau pencuri dan tatayi, merupakan tindakan-tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati dijatuhkan sendiri oleh prabu Hayam Wuruk.
Perlu diketahui bahwa dusta dan Corah masing-masing ada tujuh jenis. Dari ketujuh dusta hanya tiga yang diancam mati, yaitu pembunuhan atau menyuruh bunuh atau melukai orang yang tidak berdosa. Dari ketujuh corah (Astha Corah) atau tujuh jenis pencurian, hanya satu yang diancam pidana yaitu pencurian diwaktu malam. Selain itu, ada Tatayi yaitu kejahatan yang seluruhnya ada enam jenis,berupa membakar rumah, meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah dan merusak kehormatan wanita. Disamping itu meniduri istri orang lain juga dapat dikenakan pidana mati.
Dari uraian tersebut dilihat bahwa Adhyaksa merupakan Dhyaksa yang tertinggi. Di Majapahit para Dhyaksa dikoordinasikan dan dipimpin oleh Mahapatih Gajahmada. Mahapatih itu memang tokoh yang luar biasa cakap dan serba bisa. Selain itu Gajahmada pandai dalam menangani masalah politik, mengelola pemerintahan dan ahli siasat serta Adhyaksa. Dia juga sebagai penyusun semua piagam hukum yang dikenalnya di zaman itu, dengan nama Kitab Hukum Gajahmada. Pada masa ini, penggunaan istilah Dharmadhyaksa adalah merupakan debutan untuk Penasihat raja, yang bertanggung jawab terhadap kekayaan atau harta benda suci dari kerajaan serta urusan-urusan keagamaan. Hal ini sudah termasuk dalam menegakkan peraturan-peraturan yang tercantum dalam kitab-kitab suci.
Kemudian Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 dalam masa pemerintahan B R E Kertabhumi, yaitu setelah mengalami berbagai kesulitan intern yang tidak dapat diatasi sehingga tidak mampu menghadapi serangan dari Demak. Namun demikian peranan Dhyaksa sebagaimana yang berlaku di zaman Majapahit tidak lenyap begitu saja, bahkan dikerajaan Mataram pada abad ke XVII yang menganut agama Islam. Sisa-sisa pengaruhnya masih ada, sebagaimana nampak dalam sistem peradilan predata ada padu yang diterapkan.
Para sarjana Belanda nampaknya telah berhasil meneliti antara Peradilan Raja dengan peradilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu. Adapun perkara yang menjadi urusan peradilan Raja tersebut perkara “perdata”. Namun, demikian perkara lainnya yang tidak menjadi urusan Peradilan Raja disebut perkara “padu”. Perlu diketahui bahwa perkara pradata adalah perkara yang dapat membahayakan keamanan dan ketertiban negara antara lain kerusuhan di dalam negeri, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan sebagainya. Perkara semacam ini diadili oleh Raja pribadi. perkara padu, merupakan perkara yang menyangkut kepentingan rakyat perorangan, misalnya perselisihan di antara rakyat yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim perdamaian masing-masing tempat, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa.
Menurut Prapanca yaitu seorang ilmuwan ketika dimasa kerajaan kerajaan Majapahit, telah menjelaskan di dalam bukunya dengan judul “Negara Kertagama”, bahwa di Majapahit diantara para pejabat ada dua orang pejabat yang menjadi ketua pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya. ketua pengadilan dibantu oleh tujuh anggota.

b. Masa Kerajaan Mataram
Dinasti Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575, telah mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Raja ini dikenal sebagai raja ketiga yang memerintah pada tahun 1613 sampai dengan 1645. Pada waktu itu, kekuasaan kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung meliputi Jawa Tengah, Jawa Timar dan sebagian Jawa Barat. Namun dalam masa pemerintahan raja-raja yang menggantikannya nampaknya adalah kemundurannya. Kemudian secara berangsur-angsur wilayah kekuasaan kerajaan semakin menyempit akibat anekasi yang dilakukan oleh Belanda dalam pertentangan-pertentangan intern dalam kerajaan.
Pada Zaman itu, berdasarkan pengajaran agama Islam yang diperkenalkan oleh Sultan Agung, di Kerajaan Mataram telah diadakan perubahan dalam tata hukum. Ketika itu Sultan Agung yang bergelar “Hanyokro Koesoemo ing Alogo” sangat terkenal sebagai seorang raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya. perlu diketahui bahwa di dalam struktur pengadilan di istana Mataram, terdapat Jabatan Jaksa (jeksa). jabatan ini termasuk di bawah wewenang “Wedana-wedana Keparak”. Di dalam sidang pengadilan istana, jaksa (jeksa) mengemukakan bukti-bukti kesalahan-kesalahan dari terdakwa dan mengajukan tuntutan-tuntutan. Sidang pengadilan diadakan diruangan atau balai pertemuan khusus yang disebut “Bangsal Pancaniti” dan dihadiri oleh Raja dan para pangeran yang telah berpengalaman sebagai penasihat Raja. Setelah mendengar pembelaan diri pihak Terdakwa dan pendapat atau saran-saran dari para pangeran, akhirnya Raja telah melakukan semadi atau mengheningkan cipta sebentar lalu menjatuhkan vonis.
Sebagai pelaksana hukum mati terdapat jabatan “Mertalulut” dan “Singanegara”. Mertalulut, mempunyai tugas melaksanakan hukuman mati dengan jerat tali, seperti hukuman gantung, singanegara bertugas menghukum mati dengan senjata tajam, seperti menusuk dengan keris, tombak atau memegal dengan pedang. Berdasarkan perubahan dalam tata hukum yang dilakukan oleh Sultan Agung, maka Peradilan Pradata yang dipimpin oleh raja diubah namanya menjadi Pengadilan Serambi, sebab pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat di Serambi Mesjid Agung.
Adapun mengenai kedudukan, jabatan, dan peranan Jaksa di Kesultanan Cirebon sangat penting dan mulia. oleh karena itu hanya dipercayakan oleh para Sultan kepada pejabat-pejabat yang berpengalaman dan bermoral tinggi.
Dalam Pepakem Cirebon, jaksa digambarkan sebagai melambangkan “Candra Tirta Sari Cakra”, yang masing-masing diberi arti sebagai berikut:
a. Candra, yaitu bulan purnama yang menerangi kegelapan
b. Tirta, yaitu air yang menghanyutkan segala yang kotor,
c. Sari, bunga yang menyebarkan bau harem
d. Cakra, yaitu dewa yang melihat secara seksama apa yang benar dan tidak benar.
Para jaksa pepitu dalam melaksanakan tugasnya yaitu mengadili perkara-perkara tidak menempati gedung atau ruangan istana, namun di alun-alun besar dan duduk dibawah pohon beringin (Sebagai Lambang Pengayoman) di depan pura dan terletak di daerah Kraton Kesepuhan.
Tempat persidangan tersebut sampai kini terkenal dengan debutan Kejaksaan atau “Kajeksan”. Dalam dinasti Kerajaan Mataram dan Kesultanan Cirebon, sebutan jaksa lebih banyak mempunyai arti sebagai hakim dari pada penuntut hukum. Demikian pula kata kejaksaan diartikan sebagai pengadilan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Kerajaan cirebon yang kemudian menjadi empat kesultanan, sebelum jatuh ke dalam kekuasaan kompeni pada tahun 1705, dalam jangka waktu yang lama mempunyai hubungan politik yang erat dengan kerajaan Mataram. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Kitab Undang-undang Mataram dijadikan salah satu sumber dari pepakem Cirebon, Sesungguhnya Pepaem Cirebon disusun oleh Mr. P C Hasselaar, pada tahun 1757, yaitu seorang residen kompeni yang bertugas di Cirebon sejak tahun 1757 sampai dengan tahun 1765.
Meskipun demikian isinya mengandung Peraturan-peraturan Jawa kuno ketika Cirebon belum di jajah Kompeni, antaralain seperti Kitab Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara dan lainnya. Dengan demikian tidak berisi hukum adat murni Cirebon, tetapi ada pengaruh dari Hukum Islam. Di dalam hukum adat Cirebon tersebut nampaknya tidak ditemukan pengaruh dari hukum barat.

2. Periode Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan ini akan dibahas tentang sejarah kejaksaan di Indonesia pada dua periode, yaitu: masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang.
a. Masa Penjajah Belanda
Sejarah Jaksa Indonesia modern berawal di pertengan abad XIX, sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch Regelement, atau Regelemen Bumi Putera) dan RO (Regelement op de Rechterlijke Organisatie, atau Regelement Organisasi Peradilan). IR merumuskan antara lain Hukum Acara Pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum pada Pengadilan Bumi Putera maupun Pengadilan Golongan Eropah di Hindia Belanda.
Setelah beberapa kali diubah dan ditambah, pada akhirnya di tahun 1941, IR itu menjadi HIR (Herziene Inlandsch). HIR mengatur Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana untuk pengadilan Bumi Putera sedangkan jaksa (Magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan “Resident” atau “Asisten Rexident” di kabupaten-kabupaten. Jabatan-jabatan tadi diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setiap Magistraat membawahi beberapa jaksa (Bumi Putera). Pada Zaman itu kejaksaan Bumi Putera termasuk “Korsa Pangareh Praja”. Namun demikian jaksa bukanlah penuntut umum yang berwenang penuh.
Sebaliknya, badan penuntut umum untuk Pengadilan Eropah, di pimpin oleh “Procureur General”, yaitu Jaksa Agung “Hooggerechtsho yaitu Mahkamah Agung Hindia Belanda di Batavia. Di bawah Jaksa Agung adalah para “Officieren van Justitie”, oleh sebab itu badan penuntut umum ini termasuk Korsa Pegawai Kehakiman (Judicial Service), bukan Pegawai Negeri (Civil Service).
Dengan berkuasanya Belanda di Indonesia khususnya Di Pulau Jawa, hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap struktur pemerintahan dan sistem hukum di wilayah ini. Adapun fungsi aparat Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda antara lain sebagai berikut :
Pertama, memiliki fungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara.
Kedua, fungĂ­s untuk menerima dan mempesiapkan terdakwa.
Fungsi untuk mengadili perkara, yaitu jaksa hanya mengadili perkara padu saja. Adapun yang dimaksud dengan perkara padu, ialah:
a. Perkara yang diadili oleh petugas kejaksaan, sebab perkara itu penting bagi rakyat dan tidak dapat didamaikan lagi.
b. Perkara yang apabila si pelanggar hukum telah ditangkap oleh pihak lain.
Adapun maksud dari perkara padu ini, ialah agar pengadilan yang dilakukan lebih cepat dalam menyelesaikan proses acara pidana itu. Jadi fungsi kejaksaan dalam hal menerima dan mempersiapkan perkara, dapat dilaksanakan hanya dalam masalah yang menyangkut perkara predata saja. Perkara predata ialah semua perkara yang tidak termasuk perakara padu.
Dalam hal ini, jaksa tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengaili, ia hanya menerima perkara yang disampaikan padanya, dan sesudah itu mengadakan persiapan untuk dihadapkan kepada raja untuk diadili karena hak mengadili terletak ditangan pribadi raja.
Masa sebelum Berlakunya HIR (S.1941 No.44)
Sebelum berlakunya HIR, yang berlaku adalah Inlandsch Reglement (S.1848 No. 16). Pada masa IR ini, kedudukan aparat Kejaksaan khususnya jaksa tidak jelas. Hal tersebut karena :
a. Di dalam pasal 62 Rechterlijke Ordonantie (S. 1848 No. 57), telah disebutkan bahwa pekerjaan penuntutan umum di Pengadilan Negeri dahulu disebut Landraad, yang dilaksanakan oleh jaksa. Di dalam praktiknya, kedudukan jasa pada waktu itu adalah sebagai berikut :
1. Tidak memiliki wewenang untuk menjalankan suatu putusan pengadilan (eksekusi), yang berwenang adalah Asisten Residen (pasal 325 IR).
2. Di dalam sidang pengadilan, tidak mempunyai wewenang untuk meminta pidana bagi tertuduh (Membuat Requisitoir) tetapi hanya dapat mengemukakan perasaan dan pendapatnya saja (pasal 292 IR).
3. Tidak memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan, yang boleh menuntut perkara adalah Asisten Residen saja. Dengan demikian jasa hanya menjadi alat dari Asisten Residen, yang tidak memiliki wewenang sendiri sebagai penuntut umum, sebagaimana peranan “Openbaar Ministerie” pada pengadilan-pengadilan di Eropa.
b. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 57 IR, jaksa berada dibawah kekuasaan Bupati yang dapat memerintah dirinya.
Masa Setelah Berlakunya HIR (S. 1941 No. 44)
Setelah berlakunya Herzeine Inlandsch Regelement (HIR), kedudukan saja tetap menjadi alat kekuasaan Asisten Residen. Dalam hal ini, Asisten Residen menjadi sebutan Magistraat (Penuntut Umum), sedangkan jasa hanya mendapat sebutan “Ajunct Magistraat” tanpa perubahan dalam kedudukan dan tugasnya.

b. Periode Masa Penjajahan Jepang
Sejak masa pemerintahan penjajah Jepang, nampaknya para jaksa memiliki kembali statusnya yaitu sebagai penuntut umum yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten Residen segera dihapuskan. Situasi yang demikian mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam bidang penuntutan perkara pidana di berikan kepada jaksa dengan jabatan “Tio Kensatsu Kyokuco” atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, serta berada di bawah pengawasan “Koo Too Kensatsu Kyokuco” atau kepala Kejaksaan Tinggi.
Selanjutnya dengan “Osamurai ’ No. 49, Kejaksaan dimasukkan ke dalam wewenang “Cianbu” atau Departemen Keamanan. Dengan demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai Pegawai Penyidik), menuntut perkara (Pegawai Penuntut Umum) dan menjalankan putusan Hakim (Pegawai Eksekusi).

c. Periode Masa Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan, Untuk mengatasi sesuatu tersebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang kedudukan kejaksaan pada pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap memakai peraturan yang lama seperti sebelum Indonesia merdeka. Dengan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang dahulunya masuk Departemen Keamanan atau “Cianbu” di pindah kembali kedalam Departemen Kehakiman atau “Shihoobu.
Ketika itu kejaksaan yang pernah bersama dengan Kepolisian dalam naungan Departemen Dalam Negeri, kemudian memisahkan diri masuk bertintegrasi kedalam Departemen Kehakiman.
Dengan kembalinya Kejaksaan kedalam Departemen Kehakiman, maka corak dan tugas kewajiban para jaksa yang diberikan ketika penduduk tentara Jepang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 No. 2 telah menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang tersebut diganti.
Dengan demikian, sejak Proklamasi Kemerdekaan, tugas Openbaar Ministrie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap Pengadilan Negeri menurut HIR, dijalankan oleh Magistraat dalam HIR diganti dengan sebutan jaksa. Sehingga jaksa pada waktu itu adalah sebagai Penuntut Umum pada pengadilan Negeri.
Dan perkembangan selanjutnya setelah diundangkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Maka Kejaksaan keluar dari Departemen Kehakiman Republik Indoensia dan berdiri sendiri.
Selanjutnya sesuai dengan perkembangan hukum yang ada pada masyarakatat maka pemerintah pada tahun 1991 menetapkann UNdang-undang Nomor 15 tahun 1991 dan kemudian menetapkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksanaan Republik Indonesia.
Selama lima windu perjalanan sejarah Kejaksaan Republik Indonesia itu menunjukkan data serta peristiwa-peristiwa yang merupakan pengalaman serta pelajaran berharga diwaktu yang lalu, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk lebih meningkatkan lagi dan menyempurnakan prestasi-prestasi yang positif, dan meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi hal-hal yang masih belum memuaskan bagi perjuangan dan gerak langkahnya dimasa kini dan masa yang akan datang.
C. Fungsi dan Tugas Kejaksaan
Fungsi Kejaksaan di Indonesia sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang bukan hanya dibidang hukum saja, akan tetapi juga menyangkut bidang perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.
Di bidang pidana, Jaksa berfungsi sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam menangani perkara pidana yang dilimpahkan kepadanya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) mengatur dan mengkukuhkan beberapa peran dan tugas jaksa lainnya, antara lain melakukan pengawasan atas pelaksanaan putusan lepas bersyarat, menjadi pengacara negara, kalau negara menjadi pihak tergugat dalam gugatan perdata dan kalau seorang warga atau badan hukum meminta hakim tata usaha negara untuk menguji apakah tindakan administratif terhadap dirinya yang diambil oleh pejabat pemerintah itu berlaku atau sah menurut hukum.
Disamping itu, undang-undang ini mengatur dan mengkukuhkan beberapa fungsi dan tugas jaksa yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban dan ketentraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
Salah satu wewenang jaksa di bidang perdata setelah lahirnya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap seorang debitur yang tidak mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara bukanlah hal yang baru, kerena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit Tertanggal 27 April 1922 (S. 22-522). Kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan. Berkat adanya kebijakan penyaringan perkara secara ketat (Menolak menjadi Pengacara Negara bagi perkara-perkara yang lemah), selama ini jaksa hampir selalu menang dan perkara-perkara perdata.
Pengadilan Tata Usaha Negara baru saja berjalan tahun 1991 ini berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara kemudian diganti dengan Undang-undang No. 9 tahun 2004. Oleh karena itu pejabat pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau tidak, Hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah, jaksa dapat memainkan peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya kepada para pejabat pemerintah.
Juga dalam hubungan dengan penegakan hukum lingkungan peranan mana akan semakin bertambah penting, karena jaksa dapat memainkan peranan yang dominan dengan menggunakan instrumen administrasi, instrumen perdata dan instrument hukum pidana.
Tugas Jaksa di Indonesia yang unik lainnya adalah program jaksa masuk desa. Dalam melaksanakan tugas ini jaksa dan stafnya, sebagai penggerak perubahan (Agent of change), mengunjungi beberapa desa tertentu untuk meningkatkan pengenalan dan kesadaran masyarakat akan hukum. Mereka melakukan komunikasi dua arah dengan penduduk membicarakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga negara yang baik. Selama ini kegiatan tersebut membuahkan hasil menggembirakan. Sekarang di seluruh Indonesia tercatat ada 361 Pos Penyuluhan/Penerangan Hukum Terpadu.
Jadi, berdasarkan pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, disamping tugas dan wewenang yang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Ini menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki fungsi yang luas sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut undang-undang ini, Tugas dan Wewenang Kejaksaan diatur dalam Pasal 30, yaitu sebagai berikut :
1) Di bidang Pidana:
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
c. Melakukan pengawasan terhadap pelasanaan putusan pidana masyarakat, putusan pidana pengawasan dan putusan lepas bersyarat
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum
c. Pengawasan peredaran barang cetakan
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
e. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
f. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
g. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal
Di samping tugas dan wewenang tersebut diatas, dalam pasal 31 Undang-undang ini juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Dalam pasal 32, disebutkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang, juga kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam Pasal 35, yaitu sebagai berikut :
1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan
2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-undang
3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara.
5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana
6) Mencegah atau melarang orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu menurut Pasal 36:
1) Jaksa Agung memberikan izin kepada seorang tersangka atau terdakwa dalam hal tertentu untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit bai di dalam maupun diluar negeri.
2) Izin secara tetulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri, rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum dicukupinya fasilitas perawatan di dalam negeri.


BAB III
TENTANG KEPAILITAN

A. Pengertian Kepailitan
Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda.
Di dalam bahasa Prancis, istilah “Failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa Prancis disebut lefailli. Untuk arti yang sama di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillet sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal istilah to fail dalam bahasa Latin dipergunakan istilah fallire.
Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bangkrupt dan bangkruptcy.
Salah satu pengertian kepailitan dapat kita lihat seperti apa yang dikemukakan dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary) yang mengatakan bahwa : Pailit atau Bangkrupt adalah “The state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Dari pengertian yang diberikand dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “Ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijumpai pengertian tentang kepailitan yang menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya Dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.
Selain itu di dalam Kamus Hukum juga ditemukan pengertian pailit yang menyatakan bahwa pailit adalah suatu keadaan dimana seseorang debitur tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya.
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrupt antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrupt dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.
Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari beberapa sarjana antara lain:
Kepailitan menurut Memorie Van Telicting (Penjelasan Umum) adalah suatu penyitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.
Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang.
Secara yuridis pengertian dari kepailitan yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia disebutkan antara lain :
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagai mana diatur dalam undang-undang ini.
Jadi berdasarkan definisi atau pengertian yang diberikan oleh para sarjana diatas maka dapatlah ditarik unsur-unsur kepailitan sebagai berikut:
1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur
2. Sita itu semata-semata mengenai harta kekayaan
3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para krediturnya bersama-sama
Selanjutnya dari rumusan diatas jelaslah bahwa kepailitan itu merupakan suatu penyitaan yang dilakukan atas seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh sidebitur sebagai akibat dari pemenuhan utang-utangnya kepada para kreditur yang telah dijatuhi tempo waktu pembayaran.

B. Sejarah Hukum Kepailitan
Sebelum penulis membahas sub bab selanjutnya, dalam bab ini penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu mengenai sejarah tentang hukum kepailitan tersebut.
Dewasa ini hampir tidak ada Negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah ada undang-undang yang khusus mengatur masalah kepailitan.
Hukum kepailitan itu sendiri sudah ada Sejas Zaman Romawi, jika kita menelusuri lebih lanjut, kata bangkrut dalam Bahasa Inggris disebut dengan bangkrupt berasal dari undang-undang di Itali yang disebut dengan Banca Rupta.
Sejak tanggal 1 Oktober 1838 Belanda telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WVK) dan pada saat itu Belanda masih menjajah Indonesia. Karena itu berdasarkan atas korkondasi Hukum Dagang Belanda di Indonesia termuat dalam Pengumuman Pemerintah Belanda tanggal 30 April 1874 Lembaran Negara Staadsblad 1874 Nomor 23.
Bahwa di dalam Pasal 2 Peraturan Kepailitan dinyatakan pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan suatu putusan kepailitan adalah Raad Van Justitie di tempat kediaman si debitur. Tetapi sejak Indonesia diduduki oleh tentara Jepang pada tahun 1942 Raad Van Justitie tersebut dihapuskan oleh tugasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Pailit dimasa Hindia Belanda tidak dimaksukkan kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WVK) dan diatur dalam peraturan tersendiri kedalam Faillisements Verordening, sejak 1906 yang dulu diperuntukkan bagi pedagang saja tetapi kemudian dapat digunakan untuk golongan mana saja.
Dalam sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia menurut Rahayu Hartini, dapat dipilih menjadi tiga (3) masa yakni:
1. Sebelum berlakunya Faillisement Verordening
Sebelum Faillisement Verordening berlaku, dulu hukum kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam :
a. Wet Book Van Koophandel atau WVK Buku Ketiga yang berjudul “Van de voorazieningen in gavel van anvormogen van Kooplieden” atau peraturan tentang Ketidakmampuan Pedangan. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi pedagang.
b. Reglement op de Rechtvoordering (RV).S.1847-52 jo 1849-63, Buku Ketiga Bab Ketujuh dengan judul “Van den staat von kenneljk onvermogen” atau tentang keadaan nyata-nyata Tidak mampu.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain:
1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya
2. Biaya tinggi
3. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.
4. Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Fillisements Verordening (S. 1905-217) Untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut.

2. Masa berlakunya Faillisement Verordening (Staadblaad 1905 No. 217 jo staadblaad 1906 No. 348).
Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisement Vorordening (S. 1905-271 jo S. 1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi Golongan Eropa, Golongan Cina dan Golongan Timur Asing (S. 1924-556)
Bagi Golongan Indonesia Asli (Pribumi) dapat saja menggunakan Faillisement Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang yaitu baik bagi pedagang maupun bukan pedangan, baik perseorangan maupun badan hukum.
Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejarah dengan apa yang terjadi di negara Belanda dengan melalui asas korkondasi (pasal 131 IS) yakni dimulai dengan berlakunya “Code du Commerce” (Tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 September 1896.

3. Masa berlakunya Undang-Undang Kepailitan
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa Negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1977 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya.
Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi.
Secara umum prosedur yang diatura dalam Faillisements Verordening tersebut masih baik. Namun karena mungkin selama ini jarang dimanfaatkan, mekanisme yang diatur didalamnya menjadi semakin kurang teuji.
Sementara seiring dengan waktu berjalan, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian nasional.
Maka kemudian dilaksanakan penyempurnaan atas Peraturan Kepailitan atau Faillisements Verordening melalui PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsekuensi lebih lanjut dari PERPU ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1998 No. 135.
Dan selanjutnya pada tahun 2004 dikeluarkan undang-undang yang baru dengan nomor 37 yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya. Karena dalam hal ini tidak banyak perubahan yang menonjol tetapi terdapat penambahan saja.

C. Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Kepailitan
Di dalam perkara kepailitan dapat ditemukan pihak-pihak yang mengajukan dan diajukan dalam kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit kepengadilan, yang dalam perkara biasanya disebut pihak penggugat (Pemohon Pailit).
Di dalam Undang-Undang juga telah diatur pihak-pihak yang boleh mengajukan dan diajukan dalam kepailitan. Sebelumnya berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 maka pihak yang mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga hanya 3 pihak yakni:
1. Debitur sendiri
2. Seorang atau lebih Krediturnya
3. Jaksa Penuntut Umum
Dalam lampiran Undang-Undang Kepailitan yaitu undang-undang No. 4 Tahun 1998 ketentuan ini mengalami perubahan dan penambahan menjadi 5 pihak yaitu:
1. Debitur sendiri
2. Seorang atau lebih kreditur
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum
4. Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debiturnya adalah perusahaan efek.
Dan selanjutnya menurut undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 2, terdapat penambahan terhadap pihak yang dapat mengajukan pailit antara lain:
1. Debitur itu sendiri
2. Satu atau lebih kreditur
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum
4. BanK Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank.
5. Badan pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debiturnya adalah perusahaan Efek.
6. Menteri Keuangan jika debiturnya adalah Perusahaan Asuransi.

1. Debitur itu sendiri
Yang dimaksud debitur itu sendiri adalah pihak debitur pailit yaitu pihak yang memohonkan atau dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang.
Menurut ketentuan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) bahwa yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Melihat ketentuan itu berarti debitur yang hanya memiiki seorang kreditur tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan sehingga tidak memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004.

2. Seorang atau Lebih Kreditur
Maksudnya bahwa kreditur yang mengajukan permohonan dapat melakukan baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama. Jika kreditur tersebut adalah satu-satunya kreditur maka permohonan kepailitan itu tidak dapat diajukan oleh kreditur.
Yang dimaksud “kreditur” dalam hal ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dalam Pasal 1
Yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter ataupun majelis arbitrase.

3. Kejaksaan untuk Kepentingan Umum
Mengenai kewenangann Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan kepailitan terhadap seorang debitur dilakukan dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.
Dahulu sebelum keluar undang-undang No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-undang Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut.
Oleh sebab itu penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan jurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada lagi kepentingan perorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan negara.
Akan tetapi dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya, pasal 2 ayat (2) diberikan batasan mengenai kepentingan umum, Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya :
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara Dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas.
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Adapun tata cara pengajuan permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitur atau kreditur dengan ketentuan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa Advokad.


4. Bank Indonesia
Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit yang menyangkut debiturnya adalah sebuah bank. Permohonan pernyataan pailit itu semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan.
Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Dalam hal menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Menurut Pasal 4 Undang-undang Kepailitan No. 37 tahun 2004, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Hal tersebut dimungkinkan karena pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Hal tersebut dimungkinkan karena pembinaan, pengaturan dan pengawasan sehari-sehari dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan tujuan untuk terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar dan efesien. dan yang lebih penting lagi untuk melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat sesuai ketentuan Pasal Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal.
Selain hal tersebut diatas, kewenangan Bapepam yang lain seperti yang diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Pasar Modal (UUPM) adalah :
a. Memberi izin usaha kepada bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga reksa dana, persusahaan efek, penasehat investasi dan biro administrasi efek.
b. Mewajibkan pendaftaran profesi penunjang pasar modal dan wali amanat
c. Menetapkan persyaratan dan tata cara persyaratan pendaftaran, serta
d. Menyatakan menunda atau membatalkan efektifnya pernyataan pendaftaran
e. Mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran undang-undang ini dan atau peraturan pelaksananya.
f. Mewajibkan setiap pihak untuk : menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan di pasar modal atau; mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi yang dimaksud.
g. Melakukan pemeriksaan terhadap; setiap emiten atau perusahaan publik yang telah atau diwajibkan menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam, persetujuan, atau pendaftaran profesi berdasarkan undang-undang ini.
h. Menunjuk pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Bapepam sebagaimana dimaksud nomor 6.
i. Mengumumkan hasil pemeriksaan.
j. Membekukan atau membatalkan pencatatan suatu efek pada bursa efek atau menghentikan transaksi bursa atau efek tertentu untuk jangka waktu tertentu guna melindungi kepentingan pemodal.
k. Menghentikan kegiatan perdagangan bursa efek atau jangka waktu tertentu dalam keadaan darurat.
l. Memeriksa keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh bursa efek, lembaga kliring dan penjamin atau lembaga penyimpanan dan penyelesaian serta memberikan keputusan membatalkan atau menguatkan sanksi dimaksud.
m. Menetapkan biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pemeriksaan dan penelitian serta biaya lain dalam rangka kegiatan pasar modal
n. Melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang pasar modal
o. Memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas undang-undang ini atau peraturan pelaksanaannya
p. Menetapkan instrument lain sebagai efek selain yang telah ditentukan dalam pasal 1 angka 5
q. Melakukan hal-hal lain yang diberikan berdasarkan undang-undang
Sedangkan yang dimaksud dengan Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara perdagangan efek dan atau manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Sedangkan yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai perusahaan efek adalah perseroan yang telah mendapat izin usaha dari Bapepam. Perusahaan efek bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan efek yang dilakukan 0leh direktur, pegawai dan pihak lain yang bekerja untuk perusahaan tersebut. Sedangkan yang dapat melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin emisi efek, wakil perantara pedagan efek, atau wakil manajer investasi hanya orang-perorangan yang telah memperoleh izin dari Bapepam, Begitu juga untuk dpat melakukan kegiatan sebagai penasehat investasi haruslah pihak yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam.

6. Menteri Keuangan
Dalam undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam hal debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak dibidang kepentingan publik maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.
Yang dimaksud Perusahaan Asuransi ialah perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian. perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi adalah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai dimaksud di dalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian.
BAB IV
KASUS PERMOHONAN PAILIT OLEH KEJAKSAAN

A. Posisi Kasus
Adapun kasus yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah putusan dalam perkara kepailitan antara Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT Aneka Surya Agung yang diputuskan oleh Pengadilan Niaga Medan yang isinya antara lain sebagai berikut:
PT. Aneka Surya Agung adalah debitur yang berkedudukan sebagai Termohon Pailit, terletak di jalan Kebun Sayur Dusun VII No. 54/9 km-18,5 Tanjung Morawa B, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang. Perusahaan ini bergerak di bidang industri sandal, namun perusahaan ini telah tutup dan tidak melaksanakan aktivitasnya lagi sehingga karyawannya telah di PHK dan tidak sanggung lagi membayar lunas utang-utangnya yang telah jatuh tempo kepada para krediturnya.
Adapun kewajiban-kewajibannya tersebut adalah kepada panitia Penyelesaian Perselisihan PerburuhanPusat (P-4P) untuk membayar hak-hak normatif para pekerja yang sudah diputuskan oleh (P-4P) untuk membayar hak-hak normatif para pekerja yang sudah diputuskan oleh P-4P tanggal 30 Mei 1995 sebesar Rp. 5.515.570.204,00, PT. Jamsostek Cabang Tanjung Morawa Bulan April sampai dengan bulan Februari 2005 sebesar Rp. 425.567.831,86, PT. PLN Cabang Lubuk Pakam, sejak bulan maret sampai dengan bulan Agustus 2004 sebesar Rp. 318.150.584,00, PT. Telkom Kandatel Medan sebesar Rp. 5.997.160,00 dan PT. BNI sebesar Rp. 89.956.808,00;
Untuk menghindari pembayaran terhadap tagihan atau kewajiban Termohon (Direktur atau seluruh pengurus PT. Aneka Surya Agung), berdasarkan surat dari kepala Kepolisian Resort Deli Serdang No. B-1070/IV/2005. Termohon telah masuk dalam daftar Pencarian Orang (DPO) yang berarti tidak diketahui keberadaannya (Melarikan diri).
Sampai saat ini Termohon Pailit maupun para kreditur tidak ada satupun yang mengajukan pernyataan pailit terhadap Termohon, oleh karena itu agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan khawatir hal tersebut merupakan itikad buruk dari Termohon pailit untuk mengulur-ngulur waktu, sehingga dapat menhindar atau melepaskan tanggung jawab dari kewajibannya dan dapat menggangu kepetingan umum, karena para kreditur lain maupun para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) akan main hakim sendiri dan berujuk rasa, mengambil dan merusak aset Termohon, maka dengan ini pihak Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam mengambil langkah dengan mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap termohon pailit.

B. Analisa Kasus
1. Proses Permohonan Pailit Oleh Kejaksaan Melalui Pengadilan Niaga
Menurut ketentuan pasal Undang-undang No. 37 Tahun 2004, pernohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh pihak kejaksaan harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga, yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum debitur pailit dan harus didaftarkan melalui panitera Pengadilan Niaga tersebut, Dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan perkara perdata umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para pihak secara lengkap, dasar gugatan(Posita) dan hal-hal yang dimohonkan (petitum).
Panitera wajib menolak pedaftaran permohonan pernyataan pailit tersebut jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak kejaksaan demi kepentingan umum maka ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku. Oleh karena ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak berlaku bagi permohonan pernyataan pailit yang diajukan pihak kejaksaan, maka sebagai gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Pengacara Negara dalam persidangan di pengadilan. Dalam kasus kepailitan ini pihak Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam diwakili oleh Cirus Sinaga, SH Edward Sinurat, SH, SE, Zullikar tanjung, SH, Frangky Pasaribu, SH, M.Hum dan Binton Manalu, SH berdasarkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Pengacara Negara No. Print-1164/N.2.22/Ep.1/10/2005 tanggal 25 Oktober 2005.
Pengadilan wajib memanggil debitur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan. Apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi, maka pengadilan dapat memanggil kreditur.
Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Salinan Putusan pengadilan wajib disampaikan oleh Juru Sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, Kurator dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.


2. Alasan Kejaksaan Mengajukan Permohonan Pailit
Mengenai kewenangan kejaksaan dalam contoh kasus ini Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum terhadap PT. Aneka Surya Agung adalah dibenarkan. Hal ini mengingat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ada disebutkan “permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum”.
Menurut penjelasan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Serta disebutkan juga bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan Umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan / atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
1. Debitur melarikan diri
2. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaannya
3. Debitur mempunyai hutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat.
4. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas
5. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Adapun yang menjadi alasan Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam mengajukan permohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum terhadap PT. Aneka Surya Agung adalah karena perseroan tersebut tidak lagi menjalankan usahanya sehingga tidak dapat membayar utang kepada beberapa kreditur yang telah jatuh tempo dan telah dapat ditagih, yaitu terhadap PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT. Telkom, pembayaran hak-hak normatif 420 orang pekerja yang di PHK, dan kepada Bank Negara Indonesia (BNI).
Dapat dikatakan bahwa para kreditur PT. Aneka Surya Agung tersebut adalah merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mana modal usahanya sebagian besar milik pemerintah pusat (Pemegang saham mayoritas adalah pemerintah) yang bersumber dari kekayaan negara.
Disamping itu juga pihak menejemen PT. Aneka Surya Agung meliputi Direktur yaitu Lily Demiaty dan Komisaris Utama yaitu Anggiat Sugiarto telah diadukan oleh karyawannya melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan dana jamsostek milik karyawan PT. Aneka Surya Agung dan telah dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak Kepolisian Resort Deli Serdang No. B 1070/IV/2005 tanggal 19 April 2005 yang berarti tidak diketahui keberadaannya (Melarikan diri).
Bila dikaitkan antara undang-undang No. 37 Tahun 2004 dengan kasus kepailitan tersebut, maka telah terpenuhi unsure-unsur kepailitan yaitu:
1. PT. Aneka Surya Agung memiliki utang kepada dua atau lebih kreditur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (pasal 2 ayat (1)).
2. Debitur (Pimpinan PT. Aneka Surya Agung) melarikan diri. (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) butir a)
3. Para Kreditur PT. Aneka Surya Agung adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) batir c)
4. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu. (penjelasan Pasal 2 ayat (2) batir e).
5. Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. (pasal 8 ayat (4)).
Menurut penjelasan Pasal 8 ayat (4), yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya Fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh permohonan pailit dan Termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Berdasarkan unsur-unsur kepailitan tersebut diatas, maka dapatlah apabila Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Aneka Surya Agung demi kepentingan umum upaya terciptanya ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.




3. Penerapan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 atas Perkara Kepailitan Yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut Umum
Apabila kita telah secara seksama isi dari putusan perkara kepailitan No. 02/pailit/2005/PN. Niaga/Mdn. antara Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT. Aneka Surya Agung seperti tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa putusan Majelis Hakim Itu sudah tepat dan telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, khususnya ketentuan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menjadi acuan dan pedoman dalam menyelesaikan perkara kepailitan. Dikatakan demikian karena dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk mengadili dan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan tersebut telah sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Pada dasarnya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 ini telah diterapkan dengan baik sebagaimana mestinya oleh pihak-pihak yang terkait, baik itu oleh pihak Kejaksaan (Permohonan Pailit), Kuasa Hukum Termohon pailit dan Majelis Hakim yang menangani perkara, sehingga mulai dari proses persidangan sampai dengan putusan berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diinginkan oleh para pihak.
Dengan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam Tersebut oleh Majelis Hakim, maka para kreditur PT. Aneka Surya Agung merasa senang karena hak-hak mereka akan terpenuhi dari hasil penjualan aset-aset dan kekayaan milik perusahaan tersebut, sehingga mereka tidak akan bertindak anarkis dalam menyelesaikan perkara kepailitan tersebut dan ketertiban umum pun tidak terganggu.
Setelah adanya putusan perkara kepailitan tersebut, maka resmilah PT. Aneka Surya Agung Pailit dengan segala akibat hukumnya.
Dampak negatif yang timbul dengan pailitnya PT. Aneka Surya Agung yaitu : karyawannya banyak yang di PHK, sehingga menambah jumlah pengangguran dan kemungkinan semakin tingginya pelaku tindak criminal. Perusahaan-perusahaan yang memasok bahan baku kepada PT. Aneka Surya Agung akan tutup, berkurangnya pajak yang akan diperoleh pemerintah dari PT. Aneka Surya Agung.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah penulis menganalisa dan menguraikan hal-hal yang menyangkut tinjauan yuridis terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan umum pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai inti sari dari skripsi ini yaitu:
1. Perkara kepailitan timbul karena adanya hubungan hukum utang piutang antara pihak pemohon Pailit dengan pihak Termohon pailit. Kejaksaan dapat menjadi salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit berdasarkan ketentuan undang-undang walaupun tidak ada hubungan hukum utang piutang dengan Termohon pailit. Permohonan dimaksud harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dan didaftarkan melalui Panitera pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum debitur, agar perkaranya diperiksa dan diputuskan oleh majelis hakim.
2. Permohonan pailit ini dapat diajukan oleh : Debitur sendiri, Satu atau lebih kreditur, kejaksaan demi kepentingan umum, Bank Indonesia jika debiturnya bank, Bapepam jika debiturnya perusahaan Efek. Menteri Keuangan jika debiturnya Perusahaan Asuransi, permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam terhadap PT. Aneka Surya Agung dilakukan pihak kejaksaan dengan alasan perusahaan tersebut telah melanggar kepentingan umum. Dengan demikian akan terciptalah kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak akan bertindak anarkis dalam menyelesaikan perkara kepailitan tersebut terhadap aset-aset milik PT. Aneka Surya Agung.
3. Ketentuan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah diterapkan dengan baik dalam menyelesaikan perkara kepailitan No. 2/pailit/2005/PN.Niaga/Mdn, sehingga putusan yang dibuat Majelis Hakim dapat dikatakan telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara moral kepada masyarakat dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

B. Saran
1. Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan dasar dan pedoman dalam menyelesaikan perkara kepailitan masih relatif baru, dimana menurut ketentuan undang-undang ini dibentuklah Pengadilan Niaga untuk menangani perkara kepailitan, oleh sebab itu hendaknya dipersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan terlatih untuk menangani setiap perkara kepailitan yang ada, sehingga proses penyelesaian perkara di pengadilan Niaga tidak memakan waktu yang lama dan betele-tele serta dapat memberikan Putusan yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
2. Pihak kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara haruslah selektif dalam menerima perkara kepailitan yang berkaitan dengan kepentingan umum, sehingga tidak terjebak dalam kepetingan sekelompok orang. Dengan demikian, maka pihak kejaksaan diharapkan dapat bertindak professional dan netral dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
3. Bagi pihak-pihak yang terkait dalam perkara kepailitan tersebut haruslah menghormati putusan pengadilan dimaksud dan beritikad baik untuk melaksanakannya, sehingga dapat tercipta ketertiban hukum dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar