Image Sweet

Image Sweet
Brastagi Natural

Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Rabu, 17 Februari 2010

SUATU TINJAUAN MENGENAI PENUNTUTAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Medan).

KATA PENGANTAR




Puji dan Syukur kehadirat Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmat karunianya Nya pada Penulis sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan..

Adapun judul skripsi ini adalah SUATU TINJAUAN MENGENAI PENUNTUTAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Medan).

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

Selesainya Skripsi ini tidak terlepas Atas bantuan berbagai pihak yang telah membantu penulis, untuk itu menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak H. Muhammad Isa Indrawan, SE. MM. selaku Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

2. Ibu Siti Nurhayati, SH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan.

3. Bapak H. Bachtiar Hamzah, SH. sebagai ketua bagian Hukum Peradilan dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Panca Budi Medan. Sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan petunjuk dan arahan serta saran kepada Penulis.

4. Bapak Siti Nurhayati, SH. Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen atas bimbingan dan arahan serta ilmu yang diberikan kepada penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.

6. Bapak Sumarno, SH dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi yang telah meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis selama perkuliahan.

7. Ayahanda J. Saragih dan Ibunda Rahmiwati Hasibuan yang telah mengasuh, mendidik, membesarkan dan membantu penulis dalam banyak kesulitan serta mendoakan keberhasilan penulis.

8. Kakakku : Mira Sonya Karmalina Saragih, Vebby Kristina Saragih, Silvia Susan Saragih, Mega Sari Gusandra Saragih dan Rizqa Lailani Lestari Saragih atas do’a restu bagi penulis demi tercapainya cita-cita penulis.

9. Teman-teman seperjuangan di bangku kuliah dan Rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan yang lainnya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis sebelum dan sesudah penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mohon kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan dan kemajuan dunia pendidikan.

Semoga skripsi yang sederhana ini dapat menambah wawasan pengetahuan kita semua.


Medan, Agustus 2007
Penulis



YASMIRAH MANDASARI SARAGIH













DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .......................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................

ABSTRAK ..........................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN
A. Penegasan dan Pengertian Judul
B. Alasan Pemilihan Judul
C. Permasalahan
D. Hipotesa
E. Tujuan Pembahasan
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN
A. Sejarah Kejaksaan
B. Fungsi dan Tugas Kejaksaan
C. Kedudukan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum

BAB III : TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
B. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
D. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Mengenai Penuntutan Tindak Pidana Korupsi
B. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN


ABSTRAK




Masalah korupsi adalah masalah besar dan ruwer yang dihadapi oleh negara kita sekarang ini. Dimana saat ini pemerintah sedang giat-giatnya membrantas tindak pidana korupsi dimana undang-undang yang lama, undang-undang No. 3 Tahun 1971 telah diganti dengan undang-undang No. 31 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, kemudian diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembrantasan Tindak Pinada Korupsi. Penulis sangat tertarik dan tergugah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaannya penuntutan tidak pidana korupsi dan apa-apa saja yang menjadi hambatannya serta apapula upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah karus tindak pidana korupsi di kota Medan. Metode dalam penelitian ini penulis menggunakan metode yang sifatnya deskriptif,dimana data-data yang diperoleh dalam penelitian ini ada yang bersifat primer yaitu data yang langsung penulis peroleh melalui penelitian secara langsung keinstansi-instansi pemerintah yang terkait dengan penegak hukumtindak pidana korupsi di kota medan, dan data yang sifatnya sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku dan sebagainya. Dimana dalam hal ini proses penuntutan tindak pidana korupsi mengalami berbagai hambatan baik dalam segi yuridis seperti pembuktiannya yang sebegitu sulit dan memakan waktu yang cukup lama dan sebagainnya, kemudian dari segi non yuridis seperti sarana dan prasarana yang ada yang tidak memadai atau terbatas dan adanya intervensi dari pihak ketiga yang mempunyai kepentingan didalamnya. Dalam hal hubungannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan usaha-usaha preventif untuk mencegah terjadinya tidak pidana korupsi seperti melakukan penyuluhan dan penerangan hukum, bahkan suatu metode baru bagi Indonesia tetapi sudah biasa bagi negara lain diperkenalkan yaitu penayangan ditelevisi para koruptor yang melarikan diri baik yang masih tingkat penyidikan maupun pada tingkat pelaksanaan pidana. Dan juga diperlukan kesadaran hukum masyarakat, yang kesadaran hukum ini juga sekaliguas merupakan tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran hukm masyarakat yang menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukm tindak pidana korupsi, sedikit atau banyak dipengaruhi pula oleh adanya pemahaman hukum tidak pidana korupsi, sedikit atau banyak dipengaruhi pula oleh adanya pemahaman hukum oleh masyarakat tentang hukum itu sendiri.




BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan dan Pengertian Judul
B. Alasan Pemilihan Judul
C. Permasalahan
D. Hipotesa
E. Tujuan Pembahasan
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN

A. Sejarah Kejaksaan
Dalam bahasa asing khususnya bahasa Inggris, sejarah dinyatakan dengan kata History, Story, Genealogi. Sesungguhnya asal kata tersebut berasal dari bahasa Yunani yaitu Historial, yang mempunyai arti Hasil Penelitian.
Menurut seorang ahli Sosiologi Hukum Indonesia, yaitu Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA., Pengertian sejarah dinyatakan sebagai berikut : “Disatu pihak sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian, yaitu suatu penyajian dari kejadian-kejadian tersebut. Selain dari pada itu sejarah merupakan suatu buku yang berisikan riwayat dari suatu bangsa masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sejarah juga merupakan penulis dan secara sistematis dari gejala-gejala tertentu yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, suatu lembaga atau kelompok sosial yang biasanya disertai dengan suatu penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala-gejala tersebut. Pendeknya sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretatif, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau yang ada hubungannya dengan masa kini”.
Dalam mempelajari sejarah terutama sejarah hukum kiranya dapat dilihat dalam pidato sambutan dan pengarahan pada Simposium Sejarah Hukum di Jakarta, dari tanggal 1 sampai 3 April 1975 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut : “Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajagi berbagi aspek hukum Indonesia pada masa lalu, hal mana akan dapat bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah hukum serta insitusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita”.
Disamping uraian tentang sejarah hukum sebagaimana ditegaskan pada bagian terdahulu, kiranya perlu diketahui bahwa sejarah Kejaksaan Republik Indonesia bukan hanya berisi tentang kronologis ataupun rekonstruksi pada masa kini dan mengenai pengalaman-pengalaman di masa silam yang tidak mungkin dikembalikan lagi.
Untuk mempermudah mudah pemahaman tentang sejarah Kejaksaan di Indonesia, maka akan dibagi atas tiga (3) periode waktu, yaitu:
1. Periode Masa Kerajaan-kerajaan
2. Periode Masa Penjajahan
3. Periode Masa Indonesia Merdeka

1. Periode Masa Kerajaan-kerajaan
Pada periode ini pada prinsipnya hanya diuraikan pada dua (2) masa berkuasanya kerajaan, yaitu kerajaan Majapahit dan Mataram. Adapun mengenai pemilihan dua kerajaan tersebut kiranya dilandasi oleh pertimbangan tertentu yaitu dinilai dari kemampuan dua kerajaan itu terutama dalam menguasai wilayah geopolitiknya ketika masa dahulu kala.
Kekuasaan itu teristimewa melekat dan dimiliki oleh kerajaan terkuat di wilayah Asia Tenggara, yaitu kerajaan Majapahit dan Mataram. Namun, demikian, juga tidak menyampingkan peranan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kejaksaan ketika masih berkuasanya kerajaan Singasari maupun pada dinasti di Kesultanan Cirebon. .

a. Masa Kerajaan Majapahit
Dari khazanah perbendaharaan sejarah di tanah air kita serta berbagai disiplin ilmu yang lain, telah disingkapkan oleh para ahli dalam bidang masing-masing bahwa dari zaman bahari suku-suku bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup tinggi serta sistem peradilan yang memadai dengan situasi dan kondisi pada masing-masing lingkungannya.
Berdasarkan data sejarah nasional di zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu kerajaan Majapahit, telah menunjukkan bahwa ada beberapa jabatan di negara tersebut dinamakan Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadhyaksa. Ketiga istilah tersebut berasal dari Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Sansekerta.
Peran kejaksaan telah dikenal sejak dahulu oleh masyarakat Indonesia Kuno. Dalam masa kekuasaan kerajaan Majapahit, Gajahmada sebagai Mahapatih juga mempunyai kedudukan sebagai Jaksa negara atau Raja Jaksa, yang tugasnya mengawasi pelaksanaan Undang-undang Raja atau Shiti Narendran. Dalam hal ini Gajah Mada harus menyusun suatu rencana lengkap dalam soal sengketa yang penting. Uraian tersebut dapat dilihat dalam buku Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, oleh Kusmadi Pudjosewojo, yang menyatakan sebagai berikut : “Diantara kitab-kitab hukum yang terdapat dari abad-abad dahulu itu ada beberapa yang disebut oleh para sarjana seperti Prof. Krom dalam bukunya” Hindoe-Javaansche Geschiedenis” dan Prof. Van Vollen Hoven dalam bukunya “Adat Recht”, Jilid II Sebuah kitab hukum bernama “Hukum Gajah Mada”. Gajah mada adalah pepatih negara Majapahit dari tahun 1331-1364. Orang kuat ini sebagai Adhyaksa (Jaksa) menyelenggarakan segala Shiti Narendran (Undang-Undang Raja) dan sebagai Astapadha Raja memberikan laporan pada peradilan perkara-perkara yang sulit-sulit dan atas usahanya tersusunlan semua piagam-piagam perihal yang dikenal pada masa itu berupa kitab hukum, yang disebut kitab hukum Gajahmada”.
Menurut penjelasan Dr. Stuterheim, dalam karyanya “Het Hindoisme in Den Archipel”. menyatakan bahwa Dhyaksa adalah pejabat negara di Zaman Kerajaan Majapahit, ketika ada di bawah kekuasaan Perabu Hayam Wuruk (1350-1389), yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan dan pengawasan Mahapatih Gajahmada.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Dhyaksa adalah Hakim Pengadilan, sedangkan Adhyaksa Hakim Tertinggi, yang memimpin dan mengawasi para Dhyaksa. Dengan demikian Adhyaksa bekerja sebagai Pengawas (Opzichter) atau hakim Tertinggi (Opperrechter).
Selanjutnya tugas Gajahmada dalam urusan penegakan hukum bukan hanya sekedar bertindak sebagaI Adhyaksa, akan tetapi menjalankan juga segala Peraturan Raja dan Shiti Narendran, dan melaporlan perkara-perkara sulit ke pengadilan. Jadi tugas yang disebut terakhir ini mirip dengan tugas jaksa selaku penyerah perkara pada dewasa ini.
Dari para Adhyaksa ini dan dari Dhyaksa dituntut kemahiran dan keahlihan dalam Kitab Hukum Hindu Kuno yang sudah diakui oleh hukum adat dan sesuai dengan perasaan atau pendapat para rohaniawan serta para cendekiawan yang mendapingi para Dhyaksa tadi. Sehubungan dengan hal tersebut, pengertian Dhyaksa adalah seorang yang mahir atau ahli dalam soal hukum, sedangkan Adhyaksa adalah sebagai pengawas dan kadi.
Kemudian pada Zaman Kerajaan Majapahit maupun Kerajaan Singasari dalam abad ke XIII, raja didampingi oleh Dharmadhyaksa yaitu yang melaksanakan tugas dalam urusan rumah agama Syiwa dan Budha. Disamping sebagai petugas dalam bidang keagamaan, Dharmadhyaksa mempunyai tiga pengertian dalam melaksanakan tugasnya, yaitu:
1. Sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci (Superintendent)
2. Sebagai pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan (Religie)
3. Sebagai Ketua Pengadilan.
Adapun tugas-tugas Dharmadyaksa dalam bidang keagamaan baik dalam agama Syiwa dan Budha, masing-masing disebut darmadhyaksa Ring Kekecewaan dan Dharmadhyaksa Ring Kasogatan.
Walaupun urusan pengadilan ditangani oleh para Dhyaksa dengan didampingi para cendekiawan dan para rohaniawan di bawah pimpinan dan pengawasan tertinggi Gajahmada selaku Adhyaksa, tetapi semua ada dibawah Perintah Sang Prabu Hayam Wuruk. Oleh karena kesibukannya dalam urusan pemerintahan, adakalanya tidak sempat menghadiri jalannya peradilan. Agar dapat selalu mengikuti pelaksanaan peradilan, kemudian Prabu Hayam Wuruk mengutus kemenakannya sendiri yaitu Wirakramawardhana, selaku Wakil Raja dalam urusan peradilan atau Crinarendradhipa.
Namun demikian tidak semua putusan pengadilan dalam perkara pidana dijatuhkan oleh para Dhyaksa. Mengenai dusta, corah atau pencuri dan tatayi, merupakan tindakan-tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati dijatuhkan sendiri oleh prabu Hayam Wuruk.
Perlu diketahui bahwa dusta dan Corah masing-masing ada tujuh jenis. Dari ketujuh dusta hanya tiga yang diancam mati, yaitu pembunuhan atau menyuruh bunuh atau melukai orang yang tidak berdosa. Dari ketujuh corah (Astha Corah) atau tujuh jenis pencurian, hanya satu yang diancam pidana yaitu pencurian diwaktu malam. Selain itu, ada Tatayi yaitu kejahatan yang seluruhnya ada enam jenis,berupa membakar rumah, meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah dan merusak kehormatan wanita. Disamping itu meniduri istri orang lain juga dapat dikenakan pidana mati.
Dari uraian tersebut dilihat bahwa Adhyaksa merupakan Dhyaksa yang tertinggi. Di Majapahit para Dhyaksa dikoordinasikan dan dipimpin oleh Mahapatih Gajahmada. Mahapatih itu memang tokoh yang luar biasa cakap dan serba bisa. Selain itu Gajahmada pandai dalam menangani masalah politik, mengelola pemerintahan dan ahli siasat serta Adhyaksa. Dia juga sebagai penyusun semua piagam hukum yang dikenalnya di zaman itu, dengan nama Kitab Hukum Gajahmada. Pada masa ini, penggunaan istilah Dharmadhyaksa adalah merupakan debutan untuk Penasihat raja, yang bertanggung jawab terhadap kekayaan atau harta benda suci dari kerajaan serta urusan-urusan keagamaan. Hal ini sudah termasuk dalam menegakkan peraturan-peraturan yang tercantum dalam kitab-kitab suci.
Kemudian Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 dalam masa pemerintahan B R E Kertabhumi, yaitu setelah mengalami berbagai kesulitan intern yang tidak dapat diatasi sehingga tidak mampu menghadapi serangan dari Demak. Namun demikian peranan Dhyaksa sebagaimana yang berlaku di zaman Majapahit tidak lenyap begitu saja, bahkan dikerajaan Mataram pada abad ke XVII yang menganut agama Islam. Sisa-sisa pengaruhnya masih ada, sebagaimana nampak dalam sistem peradilan predata ada padu yang diterapkan.
Para sarjana Belanda nampaknya telah berhasil meneliti antara Peradilan Raja dengan peradilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu. Adapun perkara yang menjadi urusan peradilan Raja tersebut perkara “perdata”. Namun, demikian perkara lainnya yang tidak menjadi urusan Peradilan Raja disebut perkara “padu”. Perlu diketahui bahwa perkara pradata adalah perkara yang dapat membahayakan keamanan dan ketertiban negara antara lain kerusuhan di dalam negeri, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan sebagainya. Perkara semacam ini diadili oleh Raja pribadi. perkara padu, merupakan perkara yang menyangkut kepentingan rakyat perorangan, misalnya perselisihan di antara rakyat yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim perdamaian masing-masing tempat, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa.
Menurut Prapanca yaitu seorang ilmuwan ketika dimasa kerajaan kerajaan Majapahit, telah menjelaskan di dalam bukunya dengan judul “Negara Kertagama”, bahwa di Majapahit diantara para pejabat ada dua orang pejabat yang menjadi ketua pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya. ketua pengadilan dibantu oleh tujuh anggota.

b. Masa Kerajaan Mataram
Dinasti Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575, telah mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Raja ini dikenal sebagai raja ketiga yang memerintah pada tahun 1613 sampai dengan 1645. Pada waktu itu, kekuasaan kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung meliputi Jawa Tengah, Jawa Timar dan sebagian Jawa Barat. Namun dalam masa pemerintahan raja-raja yang menggantikannya nampaknya adalah kemundurannya. Kemudian secara berangsur-angsur wilayah kekuasaan kerajaan semakin menyempit akibat anekasi yang dilakukan oleh Belanda dalam pertentangan-pertentangan intern dalam kerajaan.
Pada Zaman itu, berdasarkan pengajaran agama Islam yang diperkenalkan oleh Sultan Agung, di Kerajaan Mataram telah diadakan perubahan dalam tata hukum. Ketika itu Sultan Agung yang bergelar “Hanyokro Koesoemo ing Alogo” sangat terkenal sebagai seorang raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya. perlu diketahui bahwa di dalam struktur pengadilan di istana Mataram, terdapat Jabatan Jaksa (jeksa). jabatan ini termasuk di bawah wewenang “Wedana-wedana Keparak”. Di dalam sidang pengadilan istana, jaksa (jeksa) mengemukakan bukti-bukti kesalahan-kesalahan dari terdakwa dan mengajukan tuntutan-tuntutan. Sidang pengadilan diadakan diruangan atau balai pertemuan khusus yang disebut “Bangsal Pancaniti” dan dihadiri oleh Raja dan para pangeran yang telah berpengalaman sebagai penasihat Raja. Setelah mendengar pembelaan diri pihak Terdakwa dan pendapat atau saran-saran dari para pangeran, akhirnya Raja telah melakukan semadi atau mengheningkan cipta sebentar lalu menjatuhkan vonis.
Sebagai pelaksana hukum mati terdapat jabatan “Mertalulut” dan “Singanegara”. Mertalulut, mempunyai tugas melaksanakan hukuman mati dengan jerat tali, seperti hukuman gantung, singanegara bertugas menghukum mati dengan senjata tajam, seperti menusuk dengan keris, tombak atau memegal dengan pedang. Berdasarkan perubahan dalam tata hukum yang dilakukan oleh Sultan Agung, maka Peradilan Pradata yang dipimpin oleh raja diubah namanya menjadi Pengadilan Serambi, sebab pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat di Serambi Mesjid Agung.
Adapun mengenai kedudukan, jabatan, dan peranan Jaksa di Kesultanan Cirebon sangat penting dan mulia. oleh karena itu hanya dipercayakan oleh para Sultan kepada pejabat-pejabat yang berpengalaman dan bermoral tinggi.
Dalam Pepakem Cirebon, jaksa digambarkan sebagai melambangkan “Candra Tirta Sari Cakra”, yang masing-masing diberi arti sebagai berikut:
a. Candra, yaitu bulan purnama yang menerangi kegelapan
b. Tirta, yaitu air yang menghanyutkan segala yang kotor,
c. Sari, bunga yang menyebarkan bau harem
d. Cakra, yaitu dewa yang melihat secara seksama apa yang benar dan tidak benar.
Para jaksa pepitu dalam melaksanakan tugasnya yaitu mengadili perkara-perkara tidak menempati gedung atau ruangan istana, namun di alun-alun besar dan duduk dibawah pohon beringin (Sebagai Lambang Pengayoman) di depan pura dan terletak di daerah Kraton Kesepuhan.
Tempat persidangan tersebut sampai kini terkenal dengan debutan Kejaksaan atau “Kajeksan”. Dalam dinasti Kerajaan Mataram dan Kesultanan Cirebon, sebutan jaksa lebih banyak mempunyai arti sebagai hakim dari pada penuntut hukum. Demikian pula kata kejaksaan diartikan sebagai pengadilan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Kerajaan cirebon yang kemudian menjadi empat kesultanan, sebelum jatuh ke dalam kekuasaan kompeni pada tahun 1705, dalam jangka waktu yang lama mempunyai hubungan politik yang erat dengan kerajaan Mataram. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Kitab Undang-undang Mataram dijadikan salah satu sumber dari pepakem Cirebon, Sesungguhnya Pepaem Cirebon disusun oleh Mr. P C Hasselaar, pada tahun 1757, yaitu seorang residen kompeni yang bertugas di Cirebon sejak tahun 1757 sampai dengan tahun 1765.
Meskipun demikian isinya mengandung Peraturan-peraturan Jawa kuno ketika Cirebon belum di jajah Kompeni, antaralain seperti Kitab Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara dan lainnya. Dengan demikian tidak berisi hukum adat murni Cirebon, tetapi ada pengaruh dari Hukum Islam. Di dalam hukum adat Cirebon tersebut nampaknya tidak ditemukan pengaruh dari hukum barat.

2. Periode Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan ini akan dibahas tentang sejarah kejaksaan di Indonesia pada dua periode, yaitu: masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang.
a. Masa Penjajah Belanda
Sejarah Jaksa Indonesia modern berawal di pertengan abad XIX, sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch Regelement, atau Regelemen Bumi Putera) dan RO (Regelement op de Rechterlijke Organisatie, atau Regelement Organisasi Peradilan). IR merumuskan antara lain Hukum Acara Pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum pada Pengadilan Bumi Putera maupun Pengadilan Golongan Eropah di Hindia Belanda.
Setelah beberapa kali diubah dan ditambah, pada akhirnya di tahun 1941, IR itu menjadi HIR (Herziene Inlandsch). HIR mengatur Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana untuk pengadilan Bumi Putera sedangkan jaksa (Magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan “Resident” atau “Asisten Rexident” di kabupaten-kabupaten. Jabatan-jabatan tadi diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setiap Magistraat membawahi beberapa jaksa (Bumi Putera). Pada Zaman itu kejaksaan Bumi Putera termasuk “Korsa Pangareh Praja”. Namun demikian jaksa bukanlah penuntut umum yang berwenang penuh.
Sebaliknya, badan penuntut umum untuk Pengadilan Eropah, di pimpin oleh “Procureur General”, yaitu Jaksa Agung “Hooggerechtsho yaitu Mahkamah Agung Hindia Belanda di Batavia. Di bawah Jaksa Agung adalah para “Officieren van Justitie”, oleh sebab itu badan penuntut umum ini termasuk Korsa Pegawai Kehakiman (Judicial Service), bukan Pegawai Negeri (Civil Service).
Dengan berkuasanya Belanda di Indonesia khususnya Di Pulau Jawa, hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap struktur pemerintahan dan sistem hukum di wilayah ini. Adapun fungsi aparat Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda antara lain sebagai berikut :
Pertama, memiliki fungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara.
Kedua, fungĂ­s untuk menerima dan mempesiapkan terdakwa.
Fungsi untuk mengadili perkara, yaitu jaksa hanya mengadili perkara padu saja. Adapun yang dimaksud dengan perkara padu, ialah:
a. Perkara yang diadili oleh petugas kejaksaan, sebab perkara itu penting bagi rakyat dan tidak dapat didamaikan lagi.
b. Perkara yang apabila si pelanggar hukum telah ditangkap oleh pihak lain.
Adapun maksud dari perkara padu ini, ialah agar pengadilan yang dilakukan lebih cepat dalam menyelesaikan proses acara pidana itu. Jadi fungsi kejaksaan dalam hal menerima dan mempersiapkan perkara, dapat dilaksanakan hanya dalam masalah yang menyangkut perkara predata saja. Perkara predata ialah semua perkara yang tidak termasuk perakara padu.
Dalam hal ini, jaksa tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengaili, ia hanya menerima perkara yang disampaikan padanya, dan sesudah itu mengadakan persiapan untuk dihadapkan kepada raja untuk diadili karena hak mengadili terletak ditangan pribadi raja.
Masa sebelum Berlakunya HIR (S.1941 No.44)
Sebelum berlakunya HIR, yang berlaku adalah Inlandsch Reglement (S.1848 No. 16). Pada masa IR ini, kedudukan aparat Kejaksaan khususnya jaksa tidak jelas. Hal tersebut karena :
a. Di dalam pasal 62 Rechterlijke Ordonantie (S. 1848 No. 57), telah disebutkan bahwa pekerjaan penuntutan umum di Pengadilan Negeri dahulu disebut Landraad, yang dilaksanakan oleh jaksa. Di dalam praktiknya, kedudukan jasa pada waktu itu adalah sebagai berikut :
1. Tidak memiliki wewenang untuk menjalankan suatu putusan pengadilan (eksekusi), yang berwenang adalah Asisten Residen (pasal 325 IR).
2. Di dalam sidang pengadilan, tidak mempunyai wewenang untuk meminta pidana bagi tertuduh (Membuat Requisitoir) tetapi hanya dapat mengemukakan perasaan dan pendapatnya saja (pasal 292 IR).
3. Tidak memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan, yang boleh menuntut perkara adalah Asisten Residen saja. Dengan demikian jasa hanya menjadi alat dari Asisten Residen, yang tidak memiliki wewenang sendiri sebagai penuntut umum, sebagaimana peranan “Openbaar Ministerie” pada pengadilan-pengadilan di Eropa.
b. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 57 IR, jaksa berada dibawah kekuasaan Bupati yang dapat memerintah dirinya.
Masa Setelah Berlakunya HIR (S. 1941 No. 44)
Setelah berlakunya Herzeine Inlandsch Regelement (HIR), kedudukan saja tetap menjadi alat kekuasaan Asisten Residen. Dalam hal ini, Asisten Residen menjadi sebutan Magistraat (Penuntut Umum), sedangkan jasa hanya mendapat sebutan “Ajunct Magistraat” tanpa perubahan dalam kedudukan dan tugasnya.

b. Periode Masa Penjajahan Jepang
Sejak masa pemerintahan penjajah Jepang, nampaknya para jaksa memiliki kembali statusnya yaitu sebagai penuntut umum yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten Residen segera dihapuskan. Situasi yang demikian mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam bidang penuntutan perkara pidana di berikan kepada jaksa dengan jabatan “Tio Kensatsu Kyokuco” atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, serta berada di bawah pengawasan “Koo Too Kensatsu Kyokuco” atau kepala Kejaksaan Tinggi.
Selanjutnya dengan “Osamurai ’ No. 49, Kejaksaan dimasukkan ke dalam wewenang “Cianbu” atau Departemen Keamanan. Dengan demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai Pegawai Penyidik), menuntut perkara (Pegawai Penuntut Umum) dan menjalankan putusan Hakim (Pegawai Eksekusi).

c. Periode Masa Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia mengalami kemerdekaan pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan, Untuk mengatasi sesuatu tersebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang kedudukan kejaksaan pada pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap memakai peraturan yang lama seperti sebelum Indonesia merdeka. Dengan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang dahulunya masuk Departemen Keamanan atau “Cianbu” di pindah kembali kedalam Departemen Kehakiman atau “Shihoobu.
Ketika itu kejaksaan yang pernah bersama dengan Kepolisian dalam naungan Departemen Dalam Negeri, kemudian memisahkan diri masuk bertintegrasi kedalam Departemen Kehakiman.
Dengan kembalinya Kejaksaan kedalam Departemen Kehakiman, maka corak dan tugas kewajiban para jaksa yang diberikan ketika penduduk tentara Jepang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 No. 2 telah menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang dan peraturan yang dahulu tetap berlaku sampai undang-undang tersebut diganti.
Dengan demikian, sejak Proklamasi Kemerdekaan, tugas Openbaar Ministrie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap Pengadilan Negeri menurut HIR, dijalankan oleh Magistraat dalam HIR diganti dengan sebutan jaksa. Sehingga jaksa pada waktu itu adalah sebagai Penuntut Umum pada pengadilan Negeri.
Dan perkembangan selanjutnya setelah diundangkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Maka Kejaksaan keluar dari Departemen Kehakiman Republik Indoensia dan berdiri sendiri.
Selanjutnya sesuai dengan perkembangan hukum yang ada pada masyarakatat maka pemerintah pada tahun 1991 menetapkann UNdang-undang Nomor 15 tahun 1991 dan kemudian menetapkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksanaan Republik Indonesia.
Selama lima windu perjalanan sejarah Kejaksaan Republik Indonesia itu menunjukkan data serta peristiwa-peristiwa yang merupakan pengalaman serta pelajaran berharga diwaktu yang lalu, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk lebih meningkatkan lagi dan menyempurnakan prestasi-prestasi yang positif, dan meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi hal-hal yang masih belum memuaskan bagi perjuangan dan gerak langkahnya dimasa kini dan masa yang akan datang.

B. Fungsi dan Tugas Kejaksaan
Fungsi Kejaksaan di Indonesia sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang bukan hanya dibidang hukum saja, akan tetapi juga menyangkut bidang perdata, tata usaha negara dan juga dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.
Di bidang pidana, Jaksa berfungsi sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam menangani perkara pidana yang dilimpahkan kepadanya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) mengatur dan mengkukuhkan beberapa peran dan tugas jaksa lainnya, antara lain melakukan pengawasan atas pelaksanaan putusan lepas bersyarat, menjadi pengacara negara, kalau negara menjadi pihak tergugat dalam gugatan perdata dan kalau seorang warga atau badan hukum meminta hakim tata usaha negara untuk menguji apakah tindakan administratif terhadap dirinya yang diambil oleh pejabat pemerintah itu berlaku atau sah menurut hukum.
Disamping itu, undang-undang ini mengatur dan mengkukuhkan beberapa fungsi dan tugas jaksa yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban dan ketentraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
Salah satu wewenang jaksa di bidang perdata setelah lahirnya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap seorang debitur yang tidak mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara bukanlah hal yang baru, kerena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit Tertanggal 27 April 1922 (S. 22-522). Kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan. Berkat adanya kebijakan penyaringan perkara secara ketat (Menolak menjadi Pengacara Negara bagi perkara-perkara yang lemah), selama ini jaksa hampir selalu menang dan perkara-perkara perdata.
Pengadilan Tata Usaha Negara baru saja berjalan tahun 1991 ini berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara kemudian diganti dengan Undang-undang No. 9 tahun 2004. Oleh karena itu pejabat pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau tidak, Hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah, jaksa dapat memainkan peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya kepada para pejabat pemerintah.
Juga dalam hubungan dengan penegakan hukum lingkungan peranan mana akan semakin bertambah penting, karena jaksa dapat memainkan peranan yang dominan dengan menggunakan instrumen administrasi, instrumen perdata dan instrument hukum pidana.
Tugas Jaksa di Indonesia yang unik lainnya adalah program jaksa masuk desa. Dalam melaksanakan tugas ini jaksa dan stafnya, sebagai penggerak perubahan (Agent of change), mengunjungi beberapa desa tertentu untuk meningkatkan pengenalan dan kesadaran masyarakat akan hukum. Mereka melakukan komunikasi dua arah dengan penduduk membicarakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga negara yang baik. Selama ini kegiatan tersebut membuahkan hasil menggembirakan. Sekarang di seluruh Indonesia tercatat ada 361 Pos Penyuluhan/Penerangan Hukum Terpadu.
Jadi, berdasarkan pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, disamping tugas dan wewenang yang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Ini menunjukkan bahwa kejaksaan memiliki fungsi yang luas sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut undang-undang ini, Tugas dan Wewenang Kejaksaan diatur dalam Pasal 30, yaitu sebagai berikut :
1) Di bidang Pidana:
a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
c. Melakukan pengawasan terhadap pelasanaan putusan pidana masyarakat, putusan pidana pengawasan dan putusan lepas bersyarat
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum
c. Pengawasan peredaran barang cetakan
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
e. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
f. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
g. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal
Di samping tugas dan wewenang tersebut diatas, dalam pasal 31 Undang-undang ini juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Dalam pasal 32, disebutkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang, juga kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam Pasal 35, yaitu sebagai berikut :
1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan
2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-undang
3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara.
5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana
6) Mencegah atau melarang orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu menurut Pasal 36:
1) Jaksa Agung memberikan izin kepada seorang tersangka atau terdakwa dalam hal tertentu untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit bai di dalam maupun diluar negeri.
2) Izin secara tetulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri, rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum dicukupinya fasilitas perawatan di dalam negeri.

C. Kedudukan Kejaksaan Dalam Penegakan Hukum
Membicarakan kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bagian dari sistem penegakan hukum di Indonesia mengajak kita melihat lebih jauh keberadaan Kejaksaan sebagai salah satu subsistem dari suatu sistem hukum. Oleh sebab itu sebelum membicarakan kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai suatu subsistem dari suatu sistem hukum terlebih dahulu akan diuraikan apa yang dimaksud dengan pengertian sistem hukum.
R. Subekti menjelaskan bahwa sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Lili Rasjid dan I.B. Wyasa Putra, lebih jauh mengatakan bahwa pada hakikatnya sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu subsistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
Sistem pembentukan hukum memiliki komponen-komponen sistemnya sendiri, seperti lembaga pembentuk hukum, aparatur pembentuk hukum, dan lain-lainnya, yang hakikatnya merupakan kesatuan integral, yang berfungsi dan bertujuan menghasilkan bentuk hukum seperti peraturan perundang-undangan. Sementara itu, sistem penerapan hukum merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum, yang meliputi lembaga, aparatur, sarana, dan prosedur-prosedur penegakan hukum. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum yang mempunyai kaitan (interaksi)) satu sama lain, tersusun secara tertib dan teratur menuntut asas-asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan sistem hukum tersebut.
Berkaitan dengan kesimpulan di atas, L.M. Friedman mengatakan bahwa sistem hukum tersusun dari sub-sub sistem hukum berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum biasanya menyangkut aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan. Struktur hukum penekanannya lebih kepada aparatur serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri. Sementara itu, budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.
Kemudian, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, menjelaskan Pendekatan Sistem dan formulasi Transformasi II (Cybernetics + Teori Sistem + Paradigma Hukum), bahwa sistem hukum meliputi masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, ilmu pendidikan hukum, konsep hukum, pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum, evaluasi hukum. Sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang tersusun atas integralitas berbagai komponen sistem hukum, yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terikat, bergantung, hukum, untuk mewujudkan tujuan hukum. Hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Kerusakan salah satu komponen dapat merusak keseimbangan global, dan karenanya juga akan berpengaruh terhadap perwujduan tujuan sistem itu. Hakikat dari suatu pembangunan sistem adalah pembangunan terhadap komponen-komponennya.9
Peran dan kedudukan Jaksa sebagai bagian dari subsistem hukum di Indonesia dapat dilihat di dalam sistem Kekuasaan Kehakiman yang menempatkan Kejaksaan Republik Indoensia termasuk dalam salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang bertugas melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan. Selanjutnya disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Membicarakan kedudukan dan peranan Kejaksaan RI dalam sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia bertalian erat dengan tugas dan wewenang Kejaksaan RI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, tugas dan wewenang Kejaksaan RI dijabarkan sebagai berikut :
(1) Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
a. Melakukan penuntutan ;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.10

Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Lalu, Pasal 32 Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang - Undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadila serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi Pemerintah lainnya.
Setelah mencermati isi beberapa pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a) Melakukan penuntutan : b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah;
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b) pengamanan kebijaksanaan penegakan hukum; c) Pengamanan peredaran barang cetakan ; d) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; dan e) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
(4) Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak;
(5) Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan badan negara lainnya;
(6) Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi Pemerintah lainnya.
Disamping tugas dan wewenang Kejaksaan RI di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Unadng Nomor 16 Tahun 2004, yaitu :
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan Tata Usaha Negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f. Mencegah dan menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa :
1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam dan luar negeri, kecuali dalam
2) Keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri;
3) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung;
4) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2, hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.
Kemudian Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa :
1) Jaksa Agung betanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani:
2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.
Dalam tugas dan wewenangnya Kejaksaan RI berpedoman pada Doktrin Kejaksaan TRI KRAMA ADHYAKSA. Bahwa Dharma Bakti Kejaksaan RI berlandaskan kepada Pancasila sebagai landasan idiil, Undang-Unang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang Kejaksaan sebagai landasan struktural dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai landasan operasional disertai adanya pemahaman yang mendalam atas ciri hakiki Kejaksaan RI yang tunggal, mandiri dan mumpuni. Guna memungkinkan Dharma Bakti warga Kejaksaan Republik Indonesia dapat terwujud dengan sempurna berdasarkan landasan dan ciri hakiki Kejaksaan Republik Indonesia, disusunlah Doktrin Kejaksaan Tri Dharma Adhyaksa sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga Kejaksaan R.I dan terwujud dalam sikap mental yang terpuji, yaitu :
Satya : Setia dan taat serta melaksanakan sepenuhnya perwujudan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan negara sebagai warganegara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Adhi : Jujur, berdisiplin dan bertanggung jawab.
Wicaksana: Bijaksana dan berperilaku terpuji.11



BAB III
TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-nama. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman.
Istilah korupsi berasal dari perkataan latin “Coruptio” atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan .
Korupsi banyak dikaiktan dengan ketidak jujuran seseorang di bidang keuangan. Istilah korupsi di beberapa negara seperti “gin moung” (Muanthai), yang berarti “makan bangsa”, “Tanwu” (Cina) yang berarti keserakahan bernoda, “oshoku” (Jepang) yang berarti “kerja kotor” . Arti harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya .
Perkembangan pengertian korupsi dapat dilihat dari beberapa aspek sudut pandang antara lain :
1. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar.
Teori ini mengatakan bahwa seorang pengabdi Negara (pegawai negeri) yang berjiwa korupsi mengganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
2. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan.
Korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
3. Rumusan Korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum
Pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab menerima pemberian uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.
4. Rumusan korupsi dari pandang sosiologi.
Pengkajian makna korupsi secara sosiologi menurut uraian Syed Hussein Alatas dalam bukunya “The Sociology of Corruption” yang antara lain menyebutkan bahwa terjadi korupsi apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan sipemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang, hadiah lain yang dapat menggoda pejabat termasuk pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik .
Sedangkan korupsi menurut pengertian beberapa pasal Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengertian yang cukup komprehensif yaitu :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (pasal 2).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (pasal 3).
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, 435 KUHP.
4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedududan tersebut.
5. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai Tindak Pidana Korupsi.
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi.
7. Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu bentuk korupsi, menurut rumusan pasal-pasal tersebut di atas adalah suap. Suap didefenisikan sebagai penawaran, pemberian, penerimaan, permohonan atas suatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan seorang pegawai atau pejabat dengan tujuan tertentu dalam tindakan kejahatan .

B. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ssuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Oleh karenanya keberadaan undang-undang yang baru ini diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi yang sudah hidup dan berjalan secara sistematis.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini terdapat beberapa rumusan delik korupsi secara tegas dirumuskan secara formil, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan undang-undang tersebut sebagai berikut; “Dalam Undang-undang ini, Tindak Pidana Korupsi secara tegas dirumuskan sebagai pidana formil. Hal ini sangat penting dalam pembuktian. Dengan rumusan ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana”.
Delik korupsi dilukiskan dalam undang-undang ini pada Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi dan Bab III tentang Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana. Bab II terdiri dari Pasal 2 s/d 20 dan bab II terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24.
Pelukisan secara formil mempunyai kelemahan-kelemahan, dan sebagai konsekwensinya, jika ada perbuatan-perbuatan korupsi yang tidak tercakup dalam pelukisan secara formil, maka si pelaku (tersangka) tidak dapat dimajukan ke muka hakim, dengan alasan seperti termuat dalam Pasal 1 KUHPidana yang berbunyi “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Hal demikian sebenarnya menyulitkan dalam penyidikan dan penuntutan, namun sebaliknya memudahkan bagi hakim dalam membuktikan.
2. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999).
Perumusan Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku Tindak Pidana Korupsi menurut pasal ini adalah “setiap orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan.
Adapun elemen dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 ini adalah :
a. Secara melawan hukum
Adapun yang dimaksud dengan “melawan hukum adalah mencakup pengertian perbuatan melawan hukum secara formal maupun materiel. Melawan hukum secara materil berarti, bahwa meksipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun adalah melawan hukum apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, seperti bertentangan dengan adat istiadat, kebiasaan, moral, nilai agama dan sebagainya, maka perbuatan itu dapat dipidana.
Komariah Emong Saparadja, menyatakan secara singkat ajaran melawan hukum yang formil ialah apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar, maka alasan-alasan tersebut juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Sedangkan ajaran yang materil mengatakan bahwa disamping memenuhi syarat-syarat formal yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat merupakan suatu perbuatan yang tidak patut dan tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.12


b. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini, adalah :
1. Memperkaya diri sendiri
Artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum dari pelaku, menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2. Memperkaya orang lain
Maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
3. Memperkaya korporasi
Atau mungkin juga mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari rumusan elemen ini diketahui, bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah delik formil, artinya akibat itu tidak perlu sudah terjadi. Akan tetapi, apabila perbuatan itu dapat/mungkin merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dari segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, Lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999).
4. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420 KUHP, dan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
5. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13 UU. No. 31 Tahun 1999).
6. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai Tindak Pidana Korupsi (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).
7. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi. (Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999).
8. Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi. (Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999) .
a. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang
Penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan adalah perbuatan yang sangat tercela dan mempunyai akibat yang sangat buruk terhadap jalannya pembangunan bangsa dan negara, baik dalam lapangan materiil maupun yang bersifat moril. Korupsi dan komersialisasi jabatan disinyalir telah menjalar di segala bidang, dan dilakukan baik dikalangan atas maupun bawahan. Malahan pelaku-pelakunya nampak begitu nekat seakan-akan tidak takut ditindak. Tetapi sukar untuk menemukan bukti-buktinya yang autentik karena dilakukan dengan cara-cara yang lihai sekali. Lebih-lebih mengingat kenyataan adanya tendensi hubungan erat antara atasan dan bawahan dalam menyalahgunakan jabatan itu, sehingga merupakan perbuatan kolektif.
Mengingat peranan dan kedudukan pegawai negeri yang penting, maka tidaklah berlebihan bahwa dalam diri pegawai negeri itu terdapat potensi untuk menyalahgunakan kedudukannya atau kekuasaannya. Terlebih pula, dilihat dari segi gaji pegawai negeri yang relatif kecil atau rendah, sehingga godaan maupun merupakan bahaya atau godaan yang senantiasa mengancam para pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya.
Mengingat tidak adanya eksplisit pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeerseen tentang kajian “De Autonomie Van Het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari Hukum Pidana Materiil). Apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Memang pengertian detournement de povoir, dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini mengalami perluasan arti berdasarkan yurisprudensi di Perancis. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi negara dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu :
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain.
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.13

1. Kerangka Konsep
Penetapan konsep dalam penelitian ini adalah salah satu bagian penting untuk dipakai sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu konkrit, yang disebut dengan definition operational. Penetapan konsep dipakai sebagai kerangka acuan atas beberapa pengertian sebagai penyebaran dari variable yang ada sehingga tidak memiliki arti ganda dan dapat menimbulkan bias atau beda penafsiran. Adapun konsep dalam penelitian ini diantaranya :
1. Kejaksaan adalah Kejaksaan Republik Indonesia, yakni lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.14
2. Penyidik adalah : 15
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
3. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.16
4. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.17
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebgai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.18
6. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.1920
7. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri, yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.20
8. Pra penuntutan adalah wewenang Jaksa Penuntut Umum memberi petunjuk kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan berkas perkara.2122
9. Korupsi seperti dikatakan Andi Hamzah adalah sebagai kebusukan, kebusukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.2223
10. Pelaku tindak pidana korupsi adalah, setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi atau perbuatan korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
11. Setiap orang yang dimaksud dalam tindak pidana korupsi adalah perseorangan atau termasuk korporasi.
12. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara adalah lembaga kelengkapan Kejaksaan Republik Indonesia Tingkat Propinsi di Sumatera utara.

C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
1. Kendala Yuridis melipui :
a. Masalah pembuktian di persidangan, sering kali saksi-saksi yang diajukan didepan persidangan mencabut kembali pernyataan yang telah diberikan sebagaimana dalam berita Acara Pemeriksaan (BAP) ditingkat penyidikan dengan alasan bahwa saksi sewaktu memberikan pernyataan dalam BAP tersebut dibawah tekanan. Selain itu, pada umumnya saksi-saksi yang diajukan kepersidangan ternyata mempunyai hubungan kerja dengan terdakwa yaitu sebagai bawahan dari terdakwa sehingga keterangan yang diberikan cenderung memberi pembelaan/meringkan bagi terdakwa yang sekaligus merupakan atasannya dalam kerja.
b. Kerugian negara sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa sehingga dalam hal ini terdakwa tidak lagi bisa dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa terdakwa tidak bisa terjera/terlepas dari ketentuan Undang-Undang Korupsi.
c. Pengungkapan terjadinya tindak pidana koruspsi yang relatif lama sehingga membuat kesulitan untuk mendapatkan dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Dalam hal ini biasanya kasus adanya dugaan korupsi tersebut baru terungkap dan mencuat setelah terdakwa menjalani masa pensiun dan kerja, sedangkan adanya indikasi terjadinya korupsi tersebut sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dalam memegang jabatan tertentu.
d. Diberlakukannya azas oportunitas, dalam hal ini misalnya dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung sehingga penuntutan perkara korupsi tersebut tidak dapat diteruskan .


2. Kendala nonyuridis melipti :
a. Kejaksaan masuk dalam salah satu unsur Muspida. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986 tanggal 17 februari 1986 tentang Musyarawah Pimpinan Daerah yang terdiri atas :
1) Bupati/Walikotamadya Kepala DaerahTk.II
2) Komandan Distrik Militer
3) Kepala Kepolisian Resort
4) Kepala Kejaksaan Negeri
b. Adanya intervensi dari pihak ketiga. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak-pihak lain dalam kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi kejaksaan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang masuk.2
Bahwa sesungguhnya korupsi sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut telah merugikan keuangan negara.
Dalam perkembangan selanjutnya perbuatan korupsi sangatlah majemuk sebagai bentuk kejahatan yang rumit diungkap dengan semakin canggih modus operadi yang digunakan serta kelihaian pelaku dalam menghilangkan jejak. Keadaan ini membuat pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi semakin sulit dijangkau sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan cara yang cukup sulit untuk melakukan pembuktian yang memadai secara yuridis.
Selain itu, sulitnya mengungkap atau menjerat pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan kesulitan (gagalnya) jaksa penuntut umum dalam memberikan alat bukti yang dapat menyakinkan HAKIM, terlebih kagi pengungkapan tindak pidana korupsi memang ruwet yang penanangannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terahdap Undang-undang Korupsi. Dengan demikian, apabila Jaksa Penuntut Umum tidak memahami hal tersebut, akan membuat tindak pidana korupsi sulit dijerta apalagi pintarnya terdakwa dalam menghilangkan jejak.3

D. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi
Dalam prakteknya, ada beberapa bentuk korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Pemberian sesuatu, rekreasi dan hiburan
Pemberian suap dilakukan dengan beberapa cara antara lain melalui :
1. Makanan dan minuman
2. Pakaian dan perhiasan untuk suami isteri atau pasangannya
3. Hiburan malam, liburan/rekreasi.
4. Pemberian tiket ke suatu tempat tertentu
5. Pemberian fasilitas villa, rumah dan lain-lain.
6. Pemberian suap, baik berupa uang, maupun berupa barang seperti renovasi rumah atau penyewaan rumah.

b. Pembayaran Kas
Suap antara lain dilakukan melalui pembayaran uang tunai, namun kadang kala uang tunai kurang praktis digunakan dalam transaksi yang jumlahnya besar.
c. Pemberian cek dan alat pembayaran lainnya
Dalam pembayaran yang jumlahnya besar, maka suap biasanya dilakukan dengan menggunakan cek, atau transfer antar rekening bank dengan menggunakan istilah seperti konsultan fee atau menajemen fee dan lainnya. Pembayaran tersebut dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
d. Kepentingan yang tersembunyi
Kepentingan yang tersembunyi dilakukan dengan cara mengajak kerjasama (joint venture) dalam sebuah perusahaan, misalnya dengan pemberian saham, pemberian modal kepemilikan dan lain-lain.
Perjanjian seperti ini sangat sulit dideteksi karena dilakukan secara legal dan dapat dibuktikan dengan akte notaris.
e. Pinjaman
Ada beberapa jenis pinjaman dalam kasus kecurangan sebagai berikut:
1. Pembayaran kredit palsu, sehingga terkesan pinjaman (loan) yang diberikan bersih.
2. Pembayaran pinjaman dengan garansi yang dilakukan seseorang.
3. Pinjaman bank dibuat dengan syarat yang menguntungkan, seperti pembebasan bunga, bunga dibawah harga pasar dan lain-lain.
f. Pembayaran atas kartu kredit
Suap dapat terjadi melalui pembayaran kartu kredit seorang pejabat/pegawai oleh perusahaan untuk biaya perjalanan dinas, pembelian barang, transportasi dan liburan.
g. Transfer atau penjualan asset dibawah harga standar.



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Mengenai Penuntutan Tindak Pidana Korupsi
Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyidik dan Penuntut Umum diatur pada Bab IV khususnya bagian kesatu untuk Penyelidik dan Penyidik sedangkan Penuntut Umum pada bagian ketiga. Kemudian, mengenai penyidikan diatur dalam Bab XIV Pasal 102 sampai dengan Pasal 136 KUHAP serta penuntutan diatur dalam Bab XV pasal 137 sampai dengan pasal 144 KUHAP.
Apabila diperhatikan secara lebih seksama format Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI 1981-76; TLNRI 3209) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka tampak pembentuk undang-undang memformulasikan tahap dan wewenang dimana penyidik dilakukan oleh Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang kemudian tahap penuntutan oleh Kejaksaan dan tahap mengadili perkara oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI serta pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (“inkracht can gewisde”) oleh jaksa dan Lembaga Permasyarakatan dengan Pengawaasan dan Pengamatan Ketua Pengadilan Negeri dengan sistematis, satu kesatuan sehingga tampak dalam penyelesaian perkara saling berhubungan antara satu tahap dengan lainnya dan lazim disebut dengan “integrated Criminal Justice System”.
Adapun pengertian dan batasan “integrated Criminal Justice System” menurut alm. Sukarton Marmosudjono, mantan Jaksa Agung RI disebutkan sebagai :
“Sistem peradulan pidana terpadu, yang unsure-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (Administration of Criminal Justice System) Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komoponen serta penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga permasayrakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut di atas sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan”.1


Karena merupakan satu kesatuan yang utuh dengan bertitik tolak kepada pengertian penyidikan (pasal 1 angka 2 KUHAP) dan penuntutan (Pasal 1 angka 7 KUHAP) maka titik taut tersebut tampak dalam hal hasil penyidikan oleh penyidik diserahkan berkas tersebut kepada penuntut umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP) dan bila telah lengkap (P-21), penutut umum segera menentukan apakah berkas penyidikan tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan kepengadilan (Pasal 139 KUHAP) dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (Pasa; 140 ayat (1) KUHAP) dan berkas tersebut oleh penutut umum kemudian dilimpahkan bersama-sama surat dakwaan ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut (Pasal 134 ayat (1) KUHAP).
Dari beberapa ketentuan di atas dapatlah ditarik suatu inti sari bahwa titik taut hubungan antara penyidikan dan penuntutan adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal suatu peristiwa merupakan tindak pidana atau dilakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana maka penyidik memberitahukan kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Selanjutnya, bilamana menurut pendapat penyidik tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan dalam hukum maka penyidik memberitahukan tersangka atau keluarganya dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP). Demikian pula halnya apabila penghentian penyidikan atau penyidikan dihentikan demi hukum dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang oleh KUHAP sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b maka pembreitahuan hal itu segera kepada penyidik dan penuntut umum.
2. Titik taut hubungan antara penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntutan oleh jaksa/penuntut Umum dapat dilihat dalam hal penyidik memerlukan perpanjangan penahanan kepada penuntutn umum sehubungan dengan kepentingan pemeriksaan belum selesai (Pasal 24 yat (2) KUHAP). Perpanjangan penahahan diberikan oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari dan diberikan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a) adanya alas an dan resume hasil pemeriksaan penyidik; dan
b) diajukan penyidik sebelum lewat waktu dua puluh hari atau sebelum lewat masa penahanan yang menjadi wewenang penyidik. Pemberian perpanjangan penahanan dapat sekaligus diberikan paling lama empat puluh hari dengan tidak menutup kemungkinan apabila penyidik menganggap pemeriksaan telah selesai dan tersangka dijamin tidak melarikan diri, tersangka dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum habis waktu empat puluh haris tersebut.
c) Titik taut hubungan ketiga antara penyidik dan penuntutan tampak eksistensinya dalam aspek “Prapenuntutan”. Sebagaimana diketahui bahwasanya prapenuntutan adalah wewenang penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf b KUHP, yakni dalam hal penuntut umum menerima berkas perkara penyidikan dari penyidik (Pasal 8 ayat (3) huruf a dam berpendapat bahwa hasil dari penyidikannya dianggap belum lengkap dan sempurna maka penuntut umum harus segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk seperlunya, dan dalam hak penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut umum (Pasal 110 ayat 93) KUHP) dan apabila penuntut umum dalam waktu empat belas haris tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut maka penyidikan dianggap selesai (Pasal 110 ayat (4) KUHAP dan hal ini berarti pula tidak boleh dilakukan prapenuntutan lagi.
d) Sedangkan titik taut hubungna tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 110 ayat (4) KUHAP dimana sekalipun penyidikan dianggap selesai yang berarti penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangla dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat 93) huruf b KUHAP) dan penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP).
Kasus korupsi yang telah selesai dilakukan penyidikan maka berikutnya akan dilimpahkan kekejaksaan untuk dilakukan tahap penuntutan. Jumlah kasus korupsi yang dalam tahap penuntutan dapat kita lihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel No. 1
TABEL PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM TAHAP PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA
PERIODE JUMLAH PERKARA
JANUARI 2003 S/D DESEMBER 2003 10
JANUARI 2004 S/D DESEMBER 2004 13
JANUARI 2005 S/D DESEMBER 2005 14
JANUARI 2006 S/D DESEMBER 2006 15
Sumber : Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
Dari tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa perkara tindak pidana korupsi dalam tahap penuntutan sediki sekali yang sampai pada tahap. Padahal diluar sana masih banyak para pelaku tindak pidana korupsi bebas berkeliaran karena mereka merasa kebal hukum sehingga sulit sekali untuk ditangkap. Dalam hal ini para penegak hukum harus lebih giat lagi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Secara global dan sistematika maka mengenai pengertian “penuntutan” atau “vergolging” dapat ditemukan dalam pandangan pembentuk undang-undang dan visi para doktrina Ilmu Hukum Pidana. Menurut pandangan pembentuk undang-undang melalui dimensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Rrepublik Indonesia selaku Hukum Positif (ius constitutum) yang sekarang berlaku di Indonesia maka berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP dan Bab 1 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 disebutkan bahwa, “Penuntutan adalah tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan”.2
Sedangkan pengertian “penuntuta” menurut optik para doktrina Ilmu Hukum Pidana disebutkan sebagai berikut :
1) R. Wirjono Prodjodikoro terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada Hakim dengan permohonnan, supaya Hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”.3
2) Karim Nasution, berpendapat bahwa “
“Dengan penuntutan diartikan penetuan, apakah sesuatu perkara diserahkan atau tidak kepada Hakim untuk diputuskan, dan jika dilanjutkan ke Pengadilan, untuk memajukan tuntuan hukuman”.4
3) Martiman prodjohamidjono, menyebutkan bahwa :
“Penuntutan dalam arti luar merupakan segala tindakan penuntut umum sejak ia menerima berkas dari penyidik untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadukan Negeri”.5
4) Sudarto, menyebutkan tindakan :
“Penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka kepada Hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan (verwijzing naar de terechizitting).”6
Apabila pengertian “penuntutan” atau “vervolging” dari pandangan pembentuk undang-undang dan para doktrina dipadukan, maka dapat disebutkan bahwa “Penuntutan” itu pada asasnya adalah :
(1) Suatu proses dimana penuntut umum melakukan tindakan melimpahkan perkara hasil penyidikan
Pelimpahan perkara ini disamping permintaan agar diadili juga disertai dengan pelampiran surat dakwaan dimana bila dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa dengan model formulir P-31 sedangkan dengan Acara Pemeriksaan Singkat (P-32)
(2) Pelimpahan tersebut dilakukan kepada kompetensi Pengadilan Negeri yang berwenang.
Hal ini berorientasi kepada ketenuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP dimana Pengadilan Negeri berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumannya (Locus Delicti) dan Pengadilan Negeri yang didaerah hukumannya tempat domisili terdakwa dan domisili sebagian besar saksi (Pasal 84 (2) KUHAP) atau dapat pla pada suatu Pengadilan Negeri berdasarkan penetapan/keputusan Menteri Kehakiman dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan atau usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri kepada Mahkamah Agung yang selanjutnya meneruskan kepada Menteri Kehakiman RI (Pasal 85 KUHAP) atau kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap tindak pidana yang dilakukan di luar negeri sebagaimana ketentuan pasal 86 KUHAP. Atau dapat pula pada suatu Pengadilan Negeri berdasarkan penepan/keputusan Menteri Kehakiman dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan atau usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan kepada Mahkamah Agung yang selanjutnya meneruskan kepada Meneteri Kehakiman Ri (Pasal 85 KHUAP) atau kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap tidak pidana yang dilakukan di luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal 86 KHUAP.
(3) Pelimpahan tersebut diajukan dengan permintaan agar diperiksa dan dijatuhkan putusan oleh Hakim Pidana
Tindakan ini biasa disebut dengan “mengadili” atau “Reschtspraak”, yaitu tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan cara yang diatur dalam KHUAP.7
Dewasa ini di Indonesia dengan berlakunya KHUAP selaku Hukum Positif Litis”) ada pada jaksa/penuntut umum. Karena asas tersebut dianut dalam KHUAP, maka apabila dikalrifikasikan lebih detail dan sistematis maka dalam rangka melakukan dan mempersiapkan penuntutan secara ekspilisit wewenang penuntut umum berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KHUAP adalah sebagai berikut :
1. Menerima Pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 (1) dan pemberitahuan, baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum .
2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh 8 ayat (3) huruf a dan b. Dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12)
3. Mengadakan “prapenuntutn (pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 10 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2)): melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 35 dan Pasal 29)); melakukan penahanan rumah (Pasal 2 ayat (2)); penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)); serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atay terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31)
6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1)).
7. Melarang atau mengurangi kebebasan berhubungna antara penasihat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakannya haknya (Pasal 70 ayat (4)); mengawasi hubungan antara penasihat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan negeri untuk disidangkan (Pasal 74).
8. Meminta dilakukan praperadilan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melali sarana pengawasan secara horizontal
9. Dalam Perakara Koneksitas, karena perkara piana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perakara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)).
10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkna ke Pengadilan (Pasal 139).
11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum (Pasal 14 huruf i).
12. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1)).
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a),dikarenakan :
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
c. perkara ditutup demi hukum
14. Selanjutnya penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan karena adanya alas an baru (Pasal 140 ayat (2)huruf d)
15. Mengadakan penggabungan perakara dan membuatnya dalam suarat dakwaan (Pasal 141)
16. Mengadakan pemecahan penuntutan (“Splitsing”) terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142)
17. Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan diserta surat dakwaan beserta berkas perkara (Pasal 143 ayat (1)).
18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2)).
19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan; penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh harus sebelum sidang dimulai (Pasal 144).
Dalam menjalankan wewenang penuntutan menurut ketentuan Hukum Acara Pidana dikenal adanya 2 (dua) Asas (biginsel) penuntutan, yaitu :
1. Asas Legalitas (Legaliteibeginsel) adlaah suatu asa dalam Hukum Acara Pidanan dengan kewajiban kepada penuntut umm melakukan penuntutan terahdap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas “Legilitas” ini harus dibedakan dengan Asas “Legilitas” dalam ketentuan pada hukum pidana materiil sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP). Kalau dijabarkan lebih detail maka asa “Legalitas” pada Ketentuan Hukum Acara Pidana merupakan manifestasi dari asa “equakity before the law”
2. Asas Oportunitas (Opportunetesbeginsel) adalah asas dalam Hukum Acara Pidana yang memberikan kewenangan pada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidanan dengan jalan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum (Algemene belangen). Apabila dijabarkan, maka asa Opportunitas ini diakui eksistensinya dalam prakyek dan ditegaskan sesuai Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 (LNRI 1991-59; TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republik Indonesia dimana dalam penjelasan ditentukan bahwa mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oppurtunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Sesuai dengan sifat dan bobot perkara yang disampingkan tersebut, Jaksa Agung dapat melaporkan terlebih dahulu rencana penyampingan perkara kepada Presiden, untuk mendapatkan petunjuk.
Apabila diperbandingkan kedua asas tersebut di atas, maka ternyata prakyeknya yang harus dipergunakan asas oportunitas sesuai pendapat R. Wirjono Projodikoro, dengan mengemukakan contoh berikut ini :
“Misalnya seorang A adalah ahli kimia dan sedang bekerja keras dalam pembikinan suatu bahan yang amat penting bagi pertahanan negara. Terdesak oleh keadaan rumah tangga berhubung dengan perekonomian, ia terpaksa menjual beberapa barang yang ia pinjam dari Dinas, misalnya beberapa kursi dan meja agar dengan uang pendapatannya ia bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pejabat Pengawas melaporkan hal penggelapan ini kepada Jaksa dan terdakwa mengaku terus terang kesalahannya. Kalau si A ini terus dituntut di muka Hakim Pidana, ini akan berakibat bahwa A harus memberhentikan pekerjaannya membikin bahan yang amat penting bagi pertahanan Negara itu. Mungkin sekali kepentingan Negara mendesak supaya bahan penting ini selekas mungkin diselesaikan pembikinannya, sedang orang lain tidak dapat mengerajakannya. Dalam hal semacam ini Penuntut Umum dianggap berkuasa untuk tidak menuntut si A di muka Hakim Pidana dan perkaranya dikesampingkan begitu saja (di “deponeer”).8

Dengan bertitik tolak kepada pengertian dan asas-asas maka dapatlah disebutkan bahwa tujuan diadakan suatu penuntutan itu adalah :
1. Untuk melindungi kepentingan umum (algemene belangen). Hal ini berhubungan erat dengan sifat dari ketentuan hukum pidanan dan hukum acara pidana guna melindungi kepentingan umum. Dengan dituntutnya seorang tersangka pelaku tindak pidana maka diharapkan tetap terjaganya keseimbangan kehidupan bermasayarakatan, sekalipun sebagai usaha opreventif dan represif menekan tindak pidana di masyarakatan.
2. Untuk menegakkan adanya kepastian hukum (“Rechts-Zekerheids”), baik ditinju dari kepentingan orang yang dituntut maupun dari kepentingan orang yang dituntut maupun dari peraturan itu sendiri.
Hal ini perlu ditegaskan karena dengan dituntutnya seorang tersangka maka diharapkan nasibnya menjadi jelas apakah yang bersangkutan telah bersalah melakukan tindak pidanan sebagaimana hasil penyidikan atau dibebaskan oleh pengadilan karena tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Apabila tidak dilakukan suatu penuntutan, maka secara tidak langsung tersangka nasibnya menjadi terkatung-katung karena tidak adanya kepastian hukum.
3. Sebagai konsekuensi yuridis asas negara Hukum (Rechsstaat) maka dengan dituntutnya seorang tersangka di depan sidang pengadilan dimaksudkan guna terciptanya kebenaran materiil dan diharapkan seseorang mendapatlam perlakuan adil sesia prosedural hukum dengan diberikan hak pembelaan diri mulai dari adanya keberatan (eksepsi), pledooi, replik, duplik serta upaya hukum biasa dan luar biasa. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila yang bersangktan telah dituntut di depan persidangan.
4. ditinjau dari aspek penuntut umum tujuan diadakan penuntutan ini adalah untk menegakkan Asas Legalitas (Legalileitsbeginsel) yang mewajibkan kepada penuntut umum melakukan penuntutan terhadap seseorang karena dugaan melanggar peraturan hukum pidana, sepanjang Asas Oportunitas (Opportuniteitsbeginsel) tidak diterapkan dalam perkara tersebut.
Apabila kita bertitik tolak dari ketentuan KUHAP sebagai Hukum Positif (Ius Constitutum), maka tidak dijumpai definisi mengenai Surat Dakwaan. Ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Jadi, konkretnya istilah “Surat Dakwaan” baru dipergunakan sejak berlakunya KUHP, yakni pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dikenal istila “Surat Tuduhan” atau “Acte van veschuldiging”. Dalam ketentuan Hukum Belanda dan negara lainnya penganut rumpun system Eropa-Kontinental surat dakwaan lazim disebut dengan istilah “Acte van Verwijzing” atau pad ketentuan Hukum Inggris dan negara lainnya dalam rumpun penganut system Anglo-Saxon dikenal istilah “Impuytation” atau “Bill of Infictment”.9
Dari beberapa pengertian di atas dapat disebutkan bahwa dakwaan merupakan dasar dalam hukum acara pidana serta berdasarkan dakwaan ini pemeriksaan persidangan dilakukan. Surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan penyidik. Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.10 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam mengadili terdakwa pembuktian dan fakta-fakta dipersidangan akan menentukan terbukti tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan penuntut umum.
Dalam praktek cara pembuatan surat dakwaan terdapat variasi antara satu dengan lainnya. Walaupun demikian, pada asasnya pembuatan surat dakwaan terhadap materinya lazim dituangkan terlebih dahulu dalam bentuk pola dan kerangka dasar yang disusun dengan matrik atau bentuk Tabel Analisis Pembuktian.
Kalau cara pembuatan surat dakwaan melalui ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 Nopember 1993 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B – 607/E/11/1993 maka pada surat dakwaan
a. Penelitian Berkas Perkara
Fokus penelitian diarahkan pada terpenuhinya kelengkapan formil dan materiil guna mengetahui sejauh mana fakta-fakta hasil penyidikan dapat mendukung perumusan Surat Dakwaan berserta uppaya pembuktiannya. Perlu didentifikasi dan diinvetarisasi alat-alat bukti yang memiliki keabsahan dan kekuatan pembuktian. Selanjutnya, perlu juga indetifikasi dan inventarisasi kelemahan yang melekat pada berkas perkara untuk mempersiapkan fakta-fakta yuridis yang mantap dan akurat guna mengantisipasi kendala yang timbul dalam upaya pembuktian.
b. Teknis Redaksional
Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur-unusur tindak pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga tampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur tindak pidana, maka dilakukan penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan pidana terkait guna menetapkan ketentuan pidana yang paling mantap dan tepat untuk diterapkan dalam surat dakwaan.
c. Pemilihan Bentuk Surat Dakwaan
Setelah diidentifikasi jenis, sifat tindak pidana dan ketentuan pidana yang dilanggar, lalu dilakukan pemilihan bentuk surat dakwaan yang paling tepat. Bentuk Surat Dakwaan disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu tindak pidana yang menyentuh beberapa perumusan tindak pidana dalam undang-undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif dan subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.
d. Matrik Surat Dakwaan
Dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara-perakra penting, sebelum merumuskan konsep surat dakwaan hendaknya disusun matrik surat dakwaan yang menggambarkan suatu bagian (flow chart) mulai dari kualifikasi tindak pidana beserta pasal yang dilanggar, unsure-unsur tindak pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa, alat-alat bukti pendukung dan barang bukti yang dapat mendukung upaya pembuktian. Masing-masing komponen tadi ditempatkan dalam satu kotak yang berhubungan secara parallel dengan kotak yang berada di sebelah kananya. Dari flow chart tersebut tergambar kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, unsure-unsur tindak pidana, fakta-fakta perbautan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana, alat bukti yang mendukung pembuktian setiap unsur pasal yang didakwaan dan barang bukti yang dapat melengkapi upaya pembuktian. Sebelum disusun konsep akhir surat dakwaans ebagai persiapan pelimpahan perkara, dilakukan ekspose guna membahas surat dakwaan beserta upaya pembuktiannya.
e. Konsep Surat Dakwaan
Matrik Surat Dakwaan yang telah merupakan esensi dakwaan yang berfungsi sebagai kendali dalam merumuskan konsep surat dakwaan. Konsep surat dakwaan yang telah disusun dikonsultasikan dengan Kepala Seksi Pidana Umum dan setelah disetujui, konsep tersebut disiapkan dalam bentuk konsep akhir surat dakwaan untuk selanjutnya dimintakan persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri. Setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri atau Kasi Pidana Umum, barulah perkara dapat dilimpahkan ke Pengadilan. Untuk memahami mekanisme pembuatan surat dakwaan dapat dilihat ketentuan SEJA Nomor : SE-001/J.A/2/1989 tentang Pengendalian dan Pencegahan Timbulnya Ekses Dalam Pelaksanaan Kegiatan Tustisial.12
f. Pengetikan Surat Dakwaan
Setelah itu, surat dakwaan kemudian diketik dan diformat/bentuk pengetikan berorientasi kepada Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-120/J.A/2/1992 tanggak 13 Desember 1992 Tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dimana dipergunakan formulir P-29 (Surat Dakwaan) dan P-30 (Catatan Penuntut Umum (Untuk tindak pidana yang didakwakan)). Sedangkan P-31 dipergunakan untuk Pelimpahan Perkara dengan Acara Pemeriksanaan Biasa dan P-32 untuk Surat Pelimpahan Perakra Acara Pemeriksaan Singkat.13
Pada asasnya tujuan dan peranan Surat Dakwaan dalam persidangan sangat penting dan menentukan sehingga menurut Surat Edara Jaksa Agung RI Nomor : SE-004/J.A.11/1993 tanggal 16 November 1993 surat dakwaan bagi penuntut umum merupakan mahkota bagianya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap karena merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan maka dituntut adanya kemampuan/kemahiran jaksa penuntut Umum dalam penyusunan surat dakwaan.
Oleh karena itu, berdasarkan aspek di atas dapatlah disebutkan bahwa surat dakwaan mempunyai 2 (dua) dimensi positif dimana keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti pada persidangan harus dijadikan dasar oleh Hakim dalam putusannya serta dimensi negatif bahwa apa yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus dapat tercantum pada surat dakwaan.
Dari dimensi positif dan negatif surat dakwaan eksistensinya tampak bagi :
1. Jaksa sebagai dasar melakukan penuntutan dan pembahasan yuridis dalam tuntutan pidana (requisition) serta selanjutnya dasar untuk melakukan upaya hukum.
2. Trdakwa sebagai dasar dalam pembelaan dan menyiapkan bukti-bukti kebalikan terhadap apa yang didakwakan terhadapnya.
3. Hakim sebagai dasar untuk pemeriksaan di sidang Pengadilan dan putusan yang akan dijatuhkan tentang terbukti/tidaknya kesalahan terdakwa sebagaimana dimuat dalam surat dakwaan.
Secara singkat dan sistematis bahwa tujuand dan peranan surat dakwaan eksistensinya sebagai :
1) Dasar Pokok pemeriksaan di sidang pengadilan negeri
2) Dasar dari tuntutan pidana (REQUISITOIR)
3) Dasar pembelaan (pledooi) terdakwa atau penasihat hukum
4) Dasar penjatuhan putusan/pidana oleh Hakim/Majelis Hakim
5) Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya apabila ada dilakukan upaya hukum yang bersifa biasa (verzet, banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa yang berupa Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjuan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.14
Menurut pandangan teori dan praktek terhadap pembuatan surat dakwaan hal essensial syarat suatu surat dakwaan agar memenuhi criteria perundang-undangan dan implemntasinya menurut kebutuhan praktek .
Terhadap criteria surat dakwaan secara implicit ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa :
Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka
2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyeburkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Ketentuan Pasal 143 ayat 92) KUHP tersbeut tidak secara eksplisit membatasi syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar suatu surat dakwaan sah sehingga tidak diancam batal demi hukum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP). Akan tetapi, walaupun demikian menurut pandangan para doktrina dan kelaziman dalam praktek peradilan maka ketentuan Pasal 143 92) KUHAP disebutkan adanya 2 (dua) syarat esensial yang harus diperhatikan dalam pembuatan surat dakwaan yaitu :
1. Syarat formal (Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP)
2. Syarat materiil (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)
1. Syarat formal (Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP)
Ketentuan syarat formal pada dasarnya surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum kemudian diberi tanggal dan ditandatangani serta berisikan identitas lengkap terdakwa, yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
Akan tetapi, berdasarkan kelaziman dalam praktek sesuai keputusan Jaksa Agung Ri Nomor : KEP-120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana disamping identitas terdakwa tersebut juga dilengkapi dengan pendidikan, yaitu untuk Acara Biasa dengan bentuk P-29 dan Acara Singkat dengan P-30.15
Konkretnya, dicantumkan tanggal dan tanda tangan diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai suatu akta untuk menghindari Error in Persona. Tidak dipenuhinya syarat formal tidaklah menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (“van rechtswege nietig” atau “null and void” akan tetapi surat dakwaan tersebut dapat dibatalkan (“vernietigbaar”) atau dinyatakan batal sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor :41 K/Kr/1973 tanggal 25 Januari 1975
2. Syarat Materiil (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP)
Ketentuan syarat materiil menentukan bahwa hendaknya surat dakwaan berisikan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Tidak dipenuhinya syarat ini menyebabkan dakwaan diancam batal demi hukum (“absolut nietig”, “van rechtswege nietig”, atau “null and void”).
Menurut Surat Edaram Jalsa Agung RI Nomor : SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 yang dijabarkan dengan Surat Edaran JAM Pidum Nomor : B-607/E/11/1993 tanggal 22 November 1994 merumuskan bahwa surat dakwaan agar : 16
a. Cermat didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekuarangan/kekeliruan yang menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum atau dapat dibatalkan atau dinyatakan dapat diterima (“Niet onvanklijk verklaad”)
b. Jelas didasarkan kepada uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsure-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan mendapatkan gambaran tentang : siapa yang melakukan tindak pidana, tindak tersebut dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan bahasa yang sederhana.
c. Lengkap didasarkan uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsure-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Menyusun uraian secara cermat, jelas dan lengkap tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
i. Dirumuskan terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yang kemudian disusul dengan uraian fakta-fakta perbuatan terakwa yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut; atau
ii. Dirumuskan unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan secara langsing dan bertautan satu sama lain sehingga tergambar bahwa semua unsurr tindak pidana tersebut terpenuhi oleh fakta perbuatan terdakwa. Uraian dalam bentuk kedua ini paling lazim dilakukan.
Adapun kecermatan, kejelasan dan kelengkapan uraoan waktu dan tepat tindak pidana guna memenuhi syarat-syarat yang berhubungna dengan waktu.
iii. Berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana (Pasal 1 ayat 91) KUHP)
iv. Ketentuan tentang recidive (Pasal 486 s.d. 488 KUHP)
v. Pengajuan alibi oleh terdakwa / penasihat hukum
vi. Kepastian tentang batas usia (dewasa/belum)
vii. Keadaan-keadaan yang memberatkan
viii. Dapat tidaknya terdakwa dipidana
Selanjutnya, yang berhubungan dengan tempat :
1. Kompetensi relatif pengadilan (Pasal 137, 148 dan 48 KUHAP).
2. ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Pidana
3. Unsur Tindak Pidana
Pada perkembangan Yurisprudensi dan doktrina dikenal eksistensi beberapa bentuk surat dakwaan terhadap tindak pidana koruspi, yaitu :
1. Dakwaan Tunggal
2. Dakwaan Kumulatif
3. Dakwaan Subsidairitas (Bersusun-Lapis)
4. Dakwaan Campuran/Gabungan
Pada praktek ditemukan kekaburan makna dan percampuran istilah antara dakwaan alternatif dengan dakwaan primer susidair (Subsidairitas). Kalau diteliti ternyata dalam dakwaan alternatif yang sebenarnya maka ditemukan kata “atau” antara dakwaan yang satu dengan berikutnya, hal mana tidak ditemukan dalam dakwaan Primer Subsidair.
Dari hasil wawancara penlis dengan lima orang pelaku tindak pidana korupsi (Munthe, Dr. Fauzi Skm, Dr. Ir Zulkarna, Tusard Ardi Susilo, Ukur Karina Ginting) kesemuanya dianyatakan diputus bebas mereka mengatakan bahwa selama proses penuntutan telah sesuai dengan apa yang diatur dalam KUHAP dimana dalam pelimpahan perkara ke pengadilan negeri penuntut umum meminta agar segera mengadili perkaranya dengan disertai surat dakwaan (Pasal 134 ayat 1 KUHAP) dan tersangka atau penasehat hukumnya juga menerima turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut kepengadilan negeri (Pasal 143 ayat 4). Dan hak-hak dari tersangka juga dijalankan sebagaimana mestinya seperti hak tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan kepadanya (Pasal 37 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).17

B. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi hambatan-hambatan dalam penegakan tindak pidana korupsi di Kota Medan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui karakateristik dari tindak pidana korupsi tersebt. Karakteristik dari tindak pidana korupsi itu, yaitu :
1. Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikannya relatif tinggi, oleh karena itu pelaku secara dini mampu menyembunyikan atau menutupi perbuatannya serta menghilangkan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut.
2. Tindak pidana korupsi pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang baik secara bersama-sama atau membantu untuk melakukan dan saling menutupi diri karena takut terlibat sebagai tersangka jika terungkap
3. Tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan kepada kedudukan atau jabatan yang menyebabkan kerugian keuangan negara
4. Perkara korupsi umumnya terungkap setelah waktu yang cukup lama akibatnya sulit untuk mendapatkan barang bukti dan alat bukti yang memenuhi syarat hukum
5. Pelaku atau terdakwa pada umumnya adalah atasan atau pimpinan dari saksi sehingga terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, saksi mengatakan tidak ingat lagi kejadiannya. Apakah benar-benar lupa atau sengaja untuk membantu terdakwa sebagai atasannya. Pada tahap penyidikan, apakah sudah dipengaruhi atau sudah mendapatkan suatu imbalan atau tekanan atau ancaman sehingga menggaburkan alat bukti atau melemahkan pembuktian. Disamping itu pada saat persidangan saksi berhadapan langsung dengan atasannya sehingga menimbulkan beban psikologis bagi saksi untuk berterus terang dalam memberikan keterangan.
6. Alat atau sarana dan prasarana serta modus operandi yang dipergunakan bersifat canggih misalnya melalui alat multimedia seprti komputer, internet dan lain-lain.
7. Tidak ada yang melaporkan sebagai saksi korban langsung, berbeda dengan tindak pidana umum yang dirugikan adalah person (perindividu) sebagai korban sehingga cepat melaporkan kasusnya kepada yang berwenang sedangkan dalam tindak korupsi korban atau orang yang dirugikan bukan pihak perseorangan akan tetapi instiusi atau lembaga resmi negara/pemerintah.1

Sehingga yang menjadi hambatan dalam penegakan tindak pidana korupsi itu yaitu :
3. Kendala Yuridis melipui :
a. Masalah pembuktian di persidangan, sering kali saksi-saksi yang diajukan didepan persidangan mencabut kembali pernyataan yang telah diberikan sebagaimana dalam berita Acara Pemeriksaan (BAP) ditingkat penyidikan dengan alasan bahwa saksi sewaktu memberikan pernyataan dalam BAP tersebut dibawah tekanan. Selain itu, pada umumnya saksi-saksi yang diajukan kepersidangan ternyata mempunyai hubungan kerja dengan terdakwa yaitu sebagai bawahan dari terdakwa sehingga keterangan yang diberikan cenderung memberi pembelaan/meringkan bagi terdakwa yang sekaligus merupakan atasannya dalam kerja.
b. Kerugian negara sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi telah dikembalikan oleh terdakwa sehingga dalam hal ini terdakwa tidak lagi bisa dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa terdakwa tidak bisa terjera/terlepas dari ketentuan Undang-Undang Korupsi.
c. Pengungkapan terjadinya tindak pidana koruspsi yang relatif lama sehingga membuat kesulitan untuk mendapatkan dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Dalam hal ini biasanya kasus adanya dugaan korupsi tersebut baru terungkap dan mencuat setelah terdakwa menjalani masa pensiun dan kerja, sedangkan adanya indikasi terjadinya korupsi tersebut sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dalam memegang jabatan tertentu.
d. Diberlakukannya azas oportunitas, dalam hal ini misalnya dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung sehingga penuntutan perkara korupsi tersebut tidak dapat diteruskan .


4. Kendala nonyuridis melipti :
a. Kejaksaan masuk dalam salah satu unsur Muspida. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986 tanggal 17 februari 1986 tentang Musyarawah Pimpinan Daerah yang terdiri atas :
1) Bupati/Walikotamadya Kepala DaerahTk.II
2) Komandan Distrik Militer
3) Kepala Kepolisian Resort
4) Kepala Kejaksaan Negeri
b. Adanya intervensi dari pihak ketiga. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak-pihak lain dalam kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi kejaksaan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang masuk.2
Bahwa sesungguhnya korupsi sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seseorang sebagai pejabat yang menyimpang dari ketentuan hukum sehingga tindakan tersebut telah merugikan keuangan negara.
Dalam perkembangan selanjutnya perbuatan korupsi sangatlah majemuk sebagai bentuk kejahatan yang rumit diungkap dengan semakin canggih modus operadi yang digunakan serta kelihaian pelaku dalam menghilangkan jejak. Keadaan ini membuat pengungkapan kasus-kasus tindak pidana korupsi semakin sulit dijangkau sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan cara yang cukup sulit untuk melakukan pembuktian yang memadai secara yuridis.
Selain itu, sulitnya mengungkap atau menjerat pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan kesulitan (gagalnya) jaksa penuntut umum dalam memberikan alat bukti yang dapat menyakinkan HAKIM, terlebih kagi pengungkapan tindak pidana korupsi memang ruwet yang penanangannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terahdap Undang-undang Korupsi. Dengan demikian, apabila Jaksa Penuntut Umum tidak memahami hal tersebut, akan membuat tindak pidana korupsi sulit dijerta apalagi pintarnya terdakwa dalam menghilangkan jejak.3
Sulitnya memperoleh bukti-bukti dan saksi-saksi dalam mengungkap kasus korupsi sebagai salah satu penyebab pihak kejaksaan tidak berdaya untuk dapat menyeret pelaku tindak pidana korupsi di depan pengadilan. Pelaku korupsidan saksi maupun mereka yang terlibat di dalamnya seolah-olah saling menutupi sehingga pihak kejaksaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti untuk melakukan penuntutan. Hal ini juha sebagaimana yang diungkapkan oleh Laden Marpaung terhadap penanganan tindak pidana korupsi maka perlu diperhatikan tentang :
1. Terdakwa benar-benar melakukan perbautan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan resminya.
2. Tali-temali korupsi begitu ruwet
3. Pintarnya terdakwa menghilangkan jejak;
4. Penuntut umum tidak berhasil menyakinkan hakim atas dakwaannya

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
Slogan “Mencegah lebih utama daripada memberantas”, selain slogan kesehatan juga telah digunakan secara umum untuk hal-hal yang dapat menimbulkan aspek-aspek yang tidak diinginkan, walaupun kadang-kadang tanpa disadari dengan seksama tentang hakikat daripada makna atau arti dari kata “prevensif” tersebut.
Dalam Webster’s new American Dictionary dimuat antara lain sebagai berikut :
“Prevent vb to stop from being done or coming to pass; to hinder, obstruct…”
selanjutnya,
“Prevention : The act of hindering or obstruction”.17

Jika rumusan di atas diamati, maka dapat dirasakan yang lebih tepat, yakni The act of hindering or obstruction (Perbuatan merintangi atau mencegah/menghalangi).18 Dengan demikian, arti kata atau makna prevensi adalah membuat rintangan/hambatan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Untuk dapat membuat rintangan/hambatan tindak pidana korupsi maka diperlukan pemahaman yang seksama terhadap semua factor yang menyebabkan timbulnya korupsi serta semua hal-hal yang mendukung atau mempengaruhinya.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 memuat kaa “Pencegahan” dalam “Penjelasan” tetapi tidak mengutarakan lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan pencegahan tersebut. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa tindakan represif mengandung juga preventif (prevensi), namun perlu disadari bahwa prevensi yang sesungguhnya berupa uapa maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana korupsi ibarat “imunisasi” tentang suatu penyakit hingga orang yang telah diimunisasi tersebut tidak terkena penyakit dimaksud.
Uaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut :
1. Mental dan budi pekerti
Pembangunan “mental dan budi pekerti” (jiwa) masyarakat Indonesia selama masa Orde Baru (1965-1998), tampaknya tidak perlu diperhatikan meskipun telah diingatkan lirik Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”, antara kaun “….bangunlah jiwanya, bangunlah badanya….”
Selain daripada itu, leluhur-leluhur Bangsa Indonesia telah menurunkan pepatah-petitih serta pantin/puisi, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk membangun jiwa berbudi generasi penerus, namun semuanya cenerung seolah-olah diabaikan, antara lain, sebagai berikut :
a) Pulau pandan jauh di tengah
dibalik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah,
budi baik dikenang jua.
b) Harimau mati meninggalkan belang
gajah mati meninggalkan gading;
c) Ada ubi ada talas
ada budi ada balas
semua hal tersebut dimaksudkan untuk membangun budi luhur, perbuatan mulia menjauhkan perbuatan tercela. Akhir-akhir ini semuanya seolah-oleh sirna karena upaya-upaua masyarakat tertuju untuk mendapatkan “uang”, seolah-olah uang adalah segalanya.
Melihat kenyataan bahwa banyaknya uang negara dalam “kredit macet” dan “Bantuan Likuidasi Bank Indonesia” (BLBI), sungguh hal yang tidak masuk akal bahwa negara/pemerintah tidak berkemampuan untuk merealisasikan Pasal 34 UUD 1945 yang bunyinya :
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Seyogianya, yang namanya Pemimpin, baik pemimpin Kecamatan, Pemimpin kabupaten/Wali Kota, maupun Pemimpin Tingkat Departemen dan Wakil-wakil rakayat di DPR, merasa malu jika di persimpangan-persimpangan jalan ditemukan gelandangan/pengemis, khususnya dalam era globalisasi ini, dimana setiap bangsa dapat menyaksikan hal tersebut.
Hal tersebut merupakan “ Amanah” UUD 1945, waluapun di era Orde Baru sering kedengaran ucapan “Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”, tetapi pasal 34 tersebut belm dilaksanakan.
Pada prevensi tindak pidana korupsi hanya jiwa yang baik, jiwa yang bersih, jiwa yang mengandung nilai-nilai luhur yang tidak mau melakukan korupsi. Dengan demikian, mulai saat ini pembangunan jiwa asli masyarakat Indonesia, selayaknya mendapat perhatian semua pihak, semua golongan dan semua partai, serta seua pimpinan dari semua tingkat seraya memberi contoh keterladanan.
2. Sistem
Mengenai system pengawasan yang dijalankan selama ini, baik pengawasan fungsional, pengawasan melekat maupun pengawasan masyarakat, seolah-olah tidak memadai.
Pengawasan fungsional yang terdiri dari Badan Pengawas Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jendral (Irjen) dan aparat pengawasan di tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota Madya, perlu diamati dan diteliti srta dipikirkan guna menemukan ketidakberhasilannya selama ini meredam kebocoran keuangan negara.
Hal yang paling buruk adalah bahwa adanya ejekan sebagian anggota masyarakat yang menyatakan Pengawasan Melekat “Waskat” menjadi Wajib Setor ke atas. Selain daripada itu, ada sebagian pakar yang berpendapat bahwa tidak berfungsinya pengawasan karena dilumpuhkan oleh budaya “kolusi”. Jika demikian halnya, maka kejadian tersebut sangat fatal karena kesalahan-kesalahan masa lalu, tidak dikoreksi sehingga tak dapat dicegah untuk tidak terulang.
Berdasarkan perundang-undangan saat ini, hanya BPK yang menyerahkan hasil keuangan kepada DPR. Sebaliknya secara reguler, baik BPKP maupun para Irjen dapat dimintakan oleh DPR, hasil-hasil pemeriksaan/pengawasan masing-masing.
Dengan jumlah departemen yang ada saat ini maka perlu dipertimbangkan untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) DPR yang khusus ditugasi memantau hasil aparat pengawasan tersebut dan jika dianggap perlu, dapat melakukan cheking di lapangan, guna memastikan kebenarannya, walupun tidak mungkin secara keseluruhan. Cukup diteliti beberapa hal, yang diambil secara acak, misalnya :
1) pengadaan inventaris
2) perjalanan dinas
3) dan lain-lain
berdasarkan hal-hal tersebut diatas, perlu disadari bahwa aparat-aparat pengawasan memerlukan penataan agar dapat berhasil guna mencegah adanya KKN.
3. Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat dalam uapaya mencegah KKN sangat besar, khususnya masyarakat yang termasuk golongan “bisnis” yang selalu berprinsip time is money dengan perhitungan dan kalkulasi yang cermat, mereka dalam mengurus urusan/masalah selalu mempertimbangkan laba/rugi. Bagi golongan bisnis tersebut perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa perbuatan untuk melakukan pembayaran di luar ketentuan, merupakan perbuatan tercelah merusak jalannya pemerintahan.
Selain daripada itum perlu ditumbuhkan kesadaran bagi seiap warga negara bahwa melaporkan sesuatu korupsi, merupakan perbuatan berpahala karena dapat membantu memberantas KKN.
Pada saat ni masyarakat cenderung bersikap diam terhadap perbuatan KKN. Selain akan merepotkannya, juga dengan pertimbangan bahwa laporan tersebut tidak akan ditanggapi dengan jujur. Selama masyarakat beranggapan demikian maka akan sangat sulit mengharapkan perilaku masyarakat yang membantu untuk mencegah/memberantas KKN.
4. Manajemen
Kenyataan masa lalu manajemen cenderung diarahkan secara sektoral. Seyoginya manajemen dilaksanakan dengan bertitik tolak pada pelayanan masyarakat. Dengan demikian sudah saatnya dilakukan evaluasi terhadap organisasi dan tata kerja setiap satuan kerja baik di pusat maupun di daerah dengan mengamati dengan cermat tentang hal-hal yang rawan KKN sehingga peluang untuk KKN dapat ditiadakan/dikurangi.
Pada saat ini, secara umum dikatakan telah menjadi rahasia umum, beberapa hal yang sangat rawan KKN, yang perlu diprioritasikan untuk dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat, antara lain :
1) Rekrut pegawai negeri
2) Kenaikan pangkat
3) Jabatan/mutasi
Dalam hal “keterbkaan” sekarang, tidak berlebihan jika dipikirkan pembentukan “Dewan Kehormatan” yang memungkinkan setiap aparat pemerintah/negara, dapat mengajukan keberatan atas perlakuan yang menurutnya kurang adil, baik dalam hal jabatan yang diemban maupun dalam hal mutasi sehingga KKN dalamhal ini dapat dicegah.

5. Kesejahteraan Pewagai Negeri
Beberapa tahun terakhir muncul keinginan masyarakat agar pegawai negeri mengemban tugasnya secara “professional” tanpa memahami makna dan hakekat kaa “professional”.
Kata “professional” selain mengandung unsure epert dan eperience, juga terkandung didalamnnya”bayaran” (upah) karena baik expert maupun experience, semua memerlukan pemeliharan misalnya dalam membeli buku-buku atau majala-majalah ilmiah.
Selain daripada itu, pelaksanaan tugas secara professional harus ditunjang dengan peralatan yang memadai. Kenyataan saat ini, masih sangat minim peralatan yang mendukungnya untuk bekerja secara professional.
Rekayasa-rekayasa berkenaan dengan kesejahteraan pegawai negeri, sudah saatnya dihentikan, misalnya dalam hal askes, sering dikeluhkan, bahwa pegawai yang bersangkutan harus membeli obat dilur.
Mengenai kesejahteraan pegawai negeri, tidak dapat ditunda lagi. Penundaan dengan alasan keuangan negara belum berkemampuan, merupakan hal yang kurang dapat diterima dengan melihat besarnya dana-dana negara yang dipergunakan tanpa arah yang ditentukan UUD 1945, misalnya BLBI, kredit macet dan yang dikorupsi oknum-oknum tertentu.
6. Pemberantasan tindak pidana korupsi, tanpa pandang bulu
Jika hendak memberantas korupsi di Indonesia, harus dilakukan tanpa pandang bulu, artinya semua aparat baik korupsi dengan jumlah besar ataupun jumlah kecil berupa pungutan liar, semua di ajukan kepengadilan tanpa ada yang diberi maaf karena kerugian negara telah dikembalikan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Selain daripada itu, perlu disadari kesemerautan keadaan kota tidak terlepas dari pungutan-pungutan liar yang dilakukan oknum-oknum aparat, misalnya :
1) Pedagang kaki lima, berjualan di jalan karena oknum keamanan pasar melakukan pungutan liar
2) Lalu lintas, tanpa disiplin pengemudi tidak terlepas dari kelakuan aparat penertib lalu lintas dan pemberi Surat Izin Mengemudi
3) Dan lain-lain19
Selain daripada itu, jika yang hendak dicapai adalah aparat yang bersihm maka semua kegiatan aparat negara/pemerintah, yang terkait dengan bisnis tidak diperkenankan sehingga semua pemasukan uang yang dipungut aparat negara/pemerintah harus disetor kekaas negara tanpa kecuali.
Dengan demikian,perlu dipertimbangan untuk tidak memperkankan “Koperasi” atau “Yayasan” terutama koperasi ata yayasan yang membentuk beberapa Perusahaan Terbatas (PT) yang dikelolah aparat negara/pemerintah.
Korupsi dapat ditanggulangi dengan cara:
1. Upaya Preventif
a. kejaksaan melakukan kegiatan program pembinaan masyarakat taat hukum (binmatkum) dengan cara penyuluhan disekolah-sekolah, didesa-desa yang dilakukan oleh badan intelijen.
b. Melakukan kegiatan penyidikan dan penuntutan dengan hukuman yang relatif berat supaya menimbulkan efek jera dan daya tangkal terhadap pelaku yang lain.
c. Mempersiapkan jaksa-jaksa penyidik dan jaksa penuntut umum yang professional dan mempunyai integritas moral yang tinggi melalui pelatihan diklat.
d. Menganjutkan ada jaksa mengikuti program studi S2 baik biaya sendiri ataupun beasiswa dari pemerintah
2. Upaya Represif
a. Dikeluarkannya kejaksaan dari unsure Muspida
b. Harus ada kemauan politik dari pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi
c. Terhadap jaksa yang berprestasi diberikan reward (penghargaan) sedangkan bagi jaksa yang tidak berprestasi diberikan hukuman.
d. Meningkatkan kesejahteraan jaksa9

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kewenangan melakukan penuntutan dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh pihak kejaksaan. Proses persidangan tindak pidana korupsi sama seperti dengan tindak pidana umum lainnya hanya saja proses pemeriksaannya mendapat prioritas nomor satu daripada tindak pidana umum lainnya untuk dilakukan pemeriksaan.
2. Bahwa dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami berbagai hambatan baik dalam hal para aparat penegak hukumnya maupun sarana dan prasarana yang ada sangat terbatas. Untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, maka bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyrakatan, pendapatan negara, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus didaftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga dengan muda diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.

B. Saran
1. Pihak-pihak yang terkait selama proses penuntutan kasus tindak pidana korupsi harus benar-benar mempunyai moral dan akhlak yang tinggi sehingga tidak mudah untuk dipengaruhi oleh pihak lain atau pihak ketiga
2. Perlu dibuat suatu terobosan baru untuk menanggulangi hambatan-hambatan dalam menanggulangi tindak pidana korupsi seperti dilakukannya peremajaan para penegak hukum dan sebagainya



















DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.
____________,Pengantar Hukum Acara Pidana, Penerbit Ghalia, Jalarya, 1984. Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Cet Ke-3, Jakarta,1982
K. Wanntjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Ichtiar, Jakarta, 1971
Marpaung Laden Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta 2004
Muliadi Lilik, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumannya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Penerbit Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Martiman Projohamidjojo, Kekuasaan Kejaksaan dan Penuntutan, Penerbit Ghalia Indonesia
Nasution, A. karim, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, penerbit PN Percetakan Negar RI, Jakarta, 1987
Sudarto, Peranana Kejaksaan dalam Penyidikan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Pidana Dalam Sidang Pengadilan Negeri, Penerbit Yayasan Lembaga Research dan Afiliasi Industri UNDIP Semarang
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia,Penerbit Sumur, Bandung, 1974
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut studi kasus, Penerbit PT. Citra Adithya Bakti, Bandung, 2005
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2003
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981, Penerbit Karya Anda, Su rabaya.
R,,subekti. Kilab Undang-Undang Hukum Perda, Penerbit PT Pradnya
Paramita, Jakarta. 1999.
Wijowasito S. Kamus, Umum Belanda Indonesia, 1999
The Chamber Dictionary, Allieed Chamberss Ltd, New Deelhi, India, 1996,

1 komentar:

  1. Rekan2 yang berkunjung di blog saya silakan tinggalkan komen ya n tukaran blog nya. ok

    BalasHapus